Proses nandur misalkan, bisa menggunakan alat seperti traktor/mobil kecil yang memungkinkan bibit padi ditanam tanpa si petani harus bersentuhan dengan lumpur. Bibit padi disimpan dibagian belakang, kemudian mesin dijalankan oleh manusia, agar si bibit dapat ditanam satu persatu.
Begitu pula saat memanen, bisa menggunakan mesin otomatis yang memungkinkan proses panen lebih cepat dan efisien. Tidak ada lagi petani yang mengeluh sakit pinggang karena kebanyakan membungkuk memotong padi dengan ani-ani, atau sakit kedua lengan karena kebanyakan menghempas-hempaskan padi ke gerejag/gebotan.
Saat sudah menjadi gabah, petani tinggal memasukan gabah tersebut ke mesin pengering. Sehingga, tak perlu repot membolak-balik gabah yang masih basah dihalaman rumah. Gabah tinggal simpan di mesin pengering dan otomatis padi yang masih basah tersebut akan kering sendiri. Bahkan untuk beberapa mesin ada yang sudah otomatis langsung dimasukan ke dalam karung.
Namun sayangnya, teknologi pertanian tersebut seperti di awang-awang. Belum banyak petani yang memanfaatkan teknologi tersebut. Alasannya mungkin karena belum tahu, kalaupun sudah tahu mungkin jadi mundur teratur karena melihat harga yang harus dibayarkan juga tidak murah.
Pemerintah mungkin bisa memfasilitasi agar teknologi-teknologi tersebut dapat tejangkau oleh petani. Entah memberikan pinjaman lunak, memberikan bantuan satu desa --yang potensial untuk pertanian-- satu alat, atau memberdayakan insinyur dalam negeri untuk membuat alat tersebut yang harganya terjangkau oleh petani. Atau bila memungkinkan memanfaatkan dana desa yang digelontorkan pemerintah untuk membeli alat-alat tersebut.
Bila proses pertanian sudah canggih dan tidak lagi tradisional seperti saat ini, yakin deh akan banyak generasi muda yang tertarik berkarir di bidang pertanian. Apalagi dengan alat-alat tersebut juga proses pertanian menjadi lebih efisien dan efektif. Sehingga diharapkan, produksi pertanian menjadi lebih meningkat, kesejahteraan petani semakin baik.
Lulusan Pertanian Wajib Berkarir Sesuai Bidang
Coba perhatikan, hampir tidak ada lulusan kedokteran yang tidak menjadi dokter. Namun coba lihat, ada begitu banyak sarjana lulusan pertanian yang berkarir di bidang lain. Ada yang menjadi guru, jurnalis, humas, bankir, bahkan ada yang menjadi kepala cabang sebuah showroom.
Aturan ini mungkin untuk tahap awal bisa diterapkan di perguruan tinggi negeri. Jangan menerima mahasiswa yang mendaftar di jurusan pertanian hanya karena asal masuk perguruan tinggi negeri. Setelah program ini berhasil di negeri, baru diterapkan di swasta. Nah, agar programnya terlihat menarik, beri beasiswa yang lebih banyak dibanding jurusan lain. Atau hal lain yang menjadi nilai tambah.
Bila "petani" yang berilmu mengabdikan diri, seharusnya pertanian di Indonesia menjadi lebih baik. Tidak ada lagi masa tanam dikira-kira. Semua proses pertanian dilakukan sesuai ilmu. Namun agar ilmu yang diterapkan selalu up to date, harus terus dilakukan pelatihan secara berkala.