Khawatir saja isu dualisme kewenangan hanya dibuat-buat untuk kepentingan segelintir orang. Terlebih, saat kampanye dulu walikota terpilih sekarang, gembar gembor akan menghapus UWTO. Isu ini dikhawatirkan "digoreng" agar  beliau bisa duduk di pucuk pimpinan BP Batam untuk "melunasi" janji.
Terlebih gubernur terpilih juga berasal dari partai yang sama dengan walikota, dan ketua umum partai tersebut secara terang-terangan --dikutip media-- sangat mendukung penghapusan UWTO.Â
Padahal lahan di Batam berbeda statusnya dengan lahan di kota lain. Bila lahan di kota lain merupakan lahan warisan leluhur, lahan di Batam merupakan lahan yang dikembangkan oleh Otorita Batam/BP Batam.
Bila dulu tidak dibangun Otorita Batam/BP Batam, belum tentu pertumbuhan Batam sepesat sekarang, belum tentu harga lahan di Batam semahal sekarang, belum tentu juga banyak pendatang, karena dulu listrik dan air bersih saja tidak ada.
Sejak awal masyarakat juga sudah tahu, lahan di Batam hanya untuk guna pakai dengan biaya sewa yang harus dibayarkan setiap beberapa tahun.
Lahan di Batam diterapkan sebatas guna pakai karena jumlahnya terbatas, tetapi dijadikan sebagai tempat untuk mengembangkan industri. Agar tidak ada drama pembebasan lahan seperti di kota lain, digunakan metode seperti itu.Â
Selain itu juga untuk melindungi agar lahan tersebut digunakan secara tepat. Bila tidak, lahan bisa ditarik ulang. Apalagi Batam berada di daerah perbatasan yang sangat dekat dengan negara tetangga.
Semoga kekhwatiran tersebut tidak terbukti. Semoga pemerintah pusat bisa menemukan formula yang tepat agar Batam bisa menjadi lokomotif perekonomian Indonesia seperti yang diharapkan. Amien. Salam Kompasiana! (*)