Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perlukah Diterapkan UU Perlindungan Nama Anak?

14 April 2018   09:21 Diperbarui: 14 April 2018   12:46 2008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Shakespeare mengatakan, "Apalah arti sebuah nama?". Namun, pasti semua orang tidak bisa membantah bahwa nama memberi peran penting bagi kehidupan setiap orang. Nama adalah sebuah identitas utama yang akan digunakan sepanjang masa, seumur hidup, kecuali bila orang tersebut mengajukan pergantian nama melalui pengadilan setelah dewasa kelak.  

Begitu pentingnya peranan nama pada kehidupan seseorang, tidak sedikit orangtua yang berlomba-lomba memberikan nama-nama unik. Tujuannnya tentu saja agar nama buah hati mereka menarik dan tidak sama dengan anak lain. Setiap orangtua umumnya bangga saat bisa menyematkan nama unik bagi anak-anak mereka.

Ada yang memberi anak mereka nama sesuai dengan lokasi tempat orangtua pertama kali bertemu atau berbulan madu, seperti Sanur, Bali. Ada yang memberi nama anak mereka dengan nama tim sepak bola kesayangan seperti Chelsea atau malah Persib Satu Sembilan Tiga Tiga, seperti yang diberitakan kompas.com beberapa waktu lalu. Bahkan ada orangtua yang memberi nama anak mereka dengan nama bunga, buah, bahkan nama musim.

Beberapa artis bahkan ada yang memberi nama anak mereka seperti sebuah kalimat utuh, nama anak-anak penyanyi Melly Goeslaw dan Anto Hoed misalkan, Anakku Lelaki Hoed dan Pria Bernama Hoed. Atau nama putra sulung penyanyi Andien, Anaku Askara Biru. Atau nama anak Nycta Gina, Kertas Putih.

Nama Anak Masih Hak Prerogatif Orangtua

Pemberian nama bagi setiap anak di Indonesia masih menjadi hak istimewa setiap orangtua. Nama apapun yang ingin disematkan orangtua bagi anak mereka tidak akan bisa diintervensi oleh siapapun. Paling mungkin keluarga terdekat, itupun tidak bisa berbuat banyak bila orangtuanya tetap keukeuh menggunakan nama tersebut.

Apalagi pasti setiap orangtua umumnya menyematkan nama yang baik untuk anak mereka. Nama yang sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelum masa kelahiran. Nama yang diharapkan kelak akan membuat si anak bangga, meski beberapa anak mungkin malah merasa kok saya diberi nama itu, kenapa tidak ini.

Namun tahukah Anda, meski sebegitu hati-hatinya orangtua menyematkan nama bagi anak-anak mereka, tetap saja ada yang terpeleset. Ada yang mungkin menyematkan nama tersebut berdasarkan dari bahasa lain yang memiliki arti yang cukup indah, namun ternyata di wilayah lain memiliki arti yang kurang pantas untuk sebuah nama, ada juga yang salah tulis saat mendaftarkan di catatan sipil, atau mungkin karena hal lain.

Dulu saat saya masih mengajar di salah satu perguruan tinggi, ada satu mahasiswa yang namanya Helm. Saya sempat ragu-ragu menyebutkan namanya, namun mahasiswa tersebut mengatakan itu memang nama dia. H-E-L-M. Seperti nama alat untuk melindungi kepala saat mengendarai sepeda motor, tanpa nama depan maupun nama belakang. Hanya empat huruf itu. Titik.

Tanpa bermaksud menyudutkan, saya sempat bertanya kok bisa namanya Helm. Dia mengatakan orangtuanya sebenarnya memberi dia nama Helen, namun saat mendaftarkan nama anak ke catatan sipil ada kesalahan pengetikan. Nama yang seharusnya Helen, menjadi Helm.

Nah, karena orangtuanya malas mengurus kesalahan tersebut, kesalahan nama itu dibiarkan. Pada akta kelahiran nama mahasiswa tersebut tetap bernama Helm, namun untuk penggilan sehari-hari dia dipanggil Helen. Jadi ia mengatakan seumur hidup menanggung nama tersebut dan entah sudah berapa kali harus menjelaskan kesalahan pengetikan nama tersebut bagi setiap orang yang bertanya-tanya saat mengetahui nama dia yang sebenarnya.

Dulu saya pernah juga punya teman kantor yang bernama M. Lukito. Awalnya saya mengira M pada nama teman kantor tersebut merupakan kepanjangan dari kata Muhammad, seperti halnya nama-nama depan pria Indonesia pada umumnya. Namun ternyata saat berkesemnpatan melihat langsung kartu identitas dari teman kantor itu, saya sempat terlonjak kaget.

M yang disematkan pada nama depannnya merupakan kepanjangan dari M*m*k, (maaf) jenis alat kelamin perempuan. Berdasarkan beberapa cerita dari rekan-rekan, orangtua bapak tersebut tidak bermaksud memberi nama yang berasosiasi seperti itu. Ada arti lain yang cukup baik, namun karena kita tinggal di Indonesia dan kata "M" itu identik dengan jenis alat kelamin perempuan sehingga untuk berbagai urusan akhirnya disamarkan dengan hanya menyebutkan inisial saja, tidak disebutkan secara utuh.

Dulu ada juga murid TK saya yang diberi nama oleh orangtuanya Prince. Sebenarnya itu nama yang baik ya, gagah, tidak sedikit anak-anak lain yang diberi nama tersebut juga oleh orangtuanya. Mungkin si orangtua berharap si anak kelak bisa seperti seorang pangeran atau anak raja.

Namun apa jadinya bila nama tersebut disematkan pada anak perempuan yang sangat feminim. Berambut panjang, sering menggunakan pita berwarna pink. Saat itu tidak ada yang merasa aneh, mungkin saya saja yang terlalu kepo mengaitkan nama dengan salah satu gender. Entah karena anak tersebut masih TK, teman-temannnya belum ngeh, atau saru dengan Bahasa Inggris. Kan Prince dengan Princess sedikit mirip ya.

Lalu, Perlukah UU Perlindungan Nama Anak?

Saya pribadi jujur bingung menjawabnya, apalagi tidak sedikit orangtua yang berpikiran, anak-anak saya, suka-suka saya mau memberi nama apa. Namun menurut saya pribadi tidak adil juga bila orangtua memberi nama anak yang tidak pantas yang ujung-ujungnya nanti si anak merasa tidak nyaman dengan nama yang tersemat.

Apalagi saat anak tersebut lahir, tidak bisa memilih atau menentukan ingin diberi nama siapa. Jangankan memilih nama, orang bisa bertahan hidup saja masih sangat bergantung pada orang dewasa, dalam hal ini orangtua. Kecuali mungkin anak tersebut sudah bisa berbicara sejak lahir ya hehe.

Meski tidak harus mengeluarkan peraturan pelarangan nama-nama tertentu seperti beberapa negara --salah duanya Arab Saudi dan Prancis, mungkin pemerintah ada baiknya memberi batasan agar orangtua tidak memberikan nama tertentu bagi anak mereka, terutama nama-nama yang kelak bisa membuat si anak tidak nyaman, seperti nama yang berasosiasi dengan (maaf) jenis alat kelamin perempuan atau laki-laki misalkan.

Kalau pendapat teman-teman Kompasianer lain bagimana? Salam Kompasiana! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun