Saya sempat tidak percaya setrika tersebut bisa langsung panas dan memercikan api, membakar seragam anak saya. Bertahun-tahun saya melakukan ritual menyetrika seperti itu, tidak pernah sekali pun mengalami hal seperti itu. Apalagi biasanya sebelum setrika digosokkan ke baju, saya biasa menggosok-gosokan setrika tersebut ke alas untuk menyetrika, memastikan bahwa setrika tersebut tidak terlalu panas sehingga tidak merusak baju.
Dengan lelehan rasa bersalah ke anak, dan marah sama diri sendiri karena kurang hati-hati saya sempat menangis sambil mencoba memperbaiki baju tersebut dengan jahitan tangan, walaupun ujung-ujungnya tidak bisa karena bolongnya terlalu besar. Rasa bersalah kian menghunjam saat sadar seragam tersebut digunakan dua hari dalam seminggu, yakni setiap Senin dan Rabu. Itu berarti selama dua hari tersebut anak saya terpaksa harus mengenakan baju lain.
Setelah taubat karena sempat menghakimi orangtua lain, saya mencoba mencari akal agar bisa memperbaiki seragam tersebut. Tak henti saya berdoa agar toko kain di Kota Batam ada yang menjual motif kotak seperti baju anak saya.
Setelah berkeliling di salah satu pusat penjualan kain, beruntung ada satu toko yang menjual motif kotak persis seperti seragam milik anak saya --padahal saya sempat hopeless karena seragam anak saya dijahit di luar kota, jadi bisa menemukan motif yang sama persis kemungkinannya kecil.
Akhirnya dengan bantuan tukang jahit, seragam tersebut bisa diperbaiki. Kini seragam anak saya seperti memiliki banyak kantung karena tambalan. Meski demikian, tidak terlihat jejak koyak karena setrikaan.
Kini setelah kejadian tersebut saya sadar, jangan pernah menghakimi orangtua lain apalagi bila tidak merugikan kita sama sekali. Kita tidak pernah tahu latar belakang dari kejadian suatu peristiwa bila tidak mengalaminya sendiri.
Orang tua yang seragam anaknya terpapar warna lain --yang saya lihat di playground, bisa jadi juga mungkin sudah berhati-hati mencuci baju anaknya, namun karena satu dan lain hal kejadian yang tidak diinginkan tersebut terjadi juga. Ah, harus banyak-banyak belajar berempati, dan tidak cepat menghakimi orang lain. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H