Hari itu saat saya sedang menemani buah hati bermain di playground sekolah, tiba-tiba melintas teman sekolah anak saya yang berbeda kelas. Sama seperti anak-anak yang lain, bocah berusia lima tahunan itu juga sepertinya ingin memanfaatkan beberapa menit waktu usai pulang sekolah untuk bercengkrama bermain pasir.
Entah karena warna baju anak itu yang terlalu mencolok mata, entah saya yang mulai terkena sindrom saya-mengurus-anak-dengan-lebih-baik. Tiba-tiba saat anak tersebut melintas semakin dekat, pikiran nyinyir muncul di benak saya.
Saya bergumam dalam hati, "Aduh tega banget sih ibunya, seragam anak yang kuning terang bisa-bisanya berubah jadi coklat tua karena terpapar warna lain. Harusnya kan kalau mencuci seragam anak itu dipisah dari baju lain".
Jujur meski terkadang malas mencuci baju, khusus untuk seragam anak, saya memperlakukannya dengan sedikit istimewa. Saya selalu memisahkan seragam anak dari baju lain dan memastikan seragam tersebut dicuci dengan mesin cuci yang tingkat putarannya paling halus, terkadang malah mencucinya dengan tangan karena takut seragamnya belel.
Dulu ibu saya juga memperlakukan seragam sekolah saya secara khusus. Beliau bilang, kalau baju main rusak atau bladus tidak apa-apa masih bisa beli lagi. Namun bila seragam --yang hanya dapat satu-satunya dari sekolah, harus dijaga sebaik mungkin. Apalagi bila tidak dijual bebas di tempat lain. Itu makanya, saat melihat ada anak yang seragamnya terpapar noda saya suka misah-misuh sendiri.
Kenyinyiran saya sepertinya belum berakhir. Beberapa hari kemudian, saya juga kebetulan menjadi saksi hidup teman sekolah anak saya yang tidak mengenakan seragam sesuai dengan ketentuan sekolah. Hari itu siswa TK sekolah anak saya seharusnya mengenakan pakaian batik, namun si anak malah mengenakan pakaian Melayu.
Saat kejadian tersebut tidak ada yang berkomentar --termasuk saya. Anak tersebut masuk kelas seperti biasa disambut sang guru yang memang biasa sudah ada di kelas sebelum jam masuk. Namun meski saya terlihat diam, saya tetap saja membatin, "Kok bisa ibunya lupa si anak harus pakai baju apa sampai salah seragam seperti itu?"
Entah saya yang terlalu nyinyir, entah memang terbawa kebiasaan sewaktu kecil dulu. Saat saya masih duduk di bangku sekolah, ibu saya memang selalu memastikan bahwa saya memakai seragam sesuai dengan yang ditentukan. Ibu saya bilang, sekolah itu sangat penting, termasuk seragam sekolah. Itu makanya jangan sampai salah mengenakan seragam.
Sifat saya yang tidak elok tersebut akhirnya mendapat teguran. Beberapa minggu setelah kejadian tersebut, saya mengalami dua hal, persis seperti orang-orang yang saya nyinyiri dalam hati. Pertama, seragam anak saya rusak. Kedua, anak saya mengenakan seragam untuk hari lain karena seragam yang seharusnya digunakan untuk hari itu tidak dapat dikenakan karena koyak cukup besar, tidak hanya di bagian depan melainkan juga di bagian belakang.
Setiap pagi sebelum anak saya berangkat sekolah, saya biasa menyetrika seragam anak saya dengan hati-hati. Sengaja dilakukan sebelum berangkat sekolah agar bajunya hangat saat dipakai. Saya selalu memastikan tingkat kepanasan setrika sesuai sehingga tidak merusak baju yang akan digosok. Seperti biasa pagi itu saya menyalakan setrika, kemudian saya menunggu hingga panas setrika tersebut mencapai titik yang saya inginkan.
Nah pada saat menghamparkan seragam anak saya itulah musibah terjadi. Seragam anak saya terkena setrika yang saya simpan di ujung alas untuk menyetrika, dan anehnya setrika tersebut seperti sengaja menyambar beberapa bagian dari baju anak saya. Alhasil ada bolongan sebesar dua telapak tangan di baju anak saya.