Soto tersebut dibuat sedikit berbeda dari Soto Banjar, baik dari sisi bumbu maupun tampilan. Bila Soto Banjar berwarna kuning keemasan, Soto Dayak warnanya hitam pekat. Warna hitam itu berasal dari sambal khusus yang dibuat oleh Yusri. Sambal tersebut merupakan sambal andalan keluarga besarnya.
Ssst.. menurut Yusri, Soto Dayak sebenarnya tidak pernah ada. Itu bisa-bisanya dia saja untuk mem-branding Soto Banjar-nya menjadi soto yang unik. Tujuannya tentu saja agar masyarakat Batam banyak yang penasaran sehingga berbondong-bondong mencicip soto tersebut.
Strategi bisnis yang ia jalankan ternyata berhasil. Setelah memodifikasi produk, jumlah pengunjung meningkat tajam. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyewa sebuah ruko agar pengunjung lebih nikmat mencicip soto yang ia tawarkan. Setelah satu tahun membuka warung "misbar" aka gerimis bubar di kawasan Batamcentre, ia kini menempati salah satu ruko di Komplek Tiban City Square. Ruko tersebut persisis di sebrang KFC Tiban.
Ruko itu cukup luas, ada belasan meja mungil yang bisa ditempati pengunjung. Ada meja yang dipadankan dengan kursi-kursi kayu yang etnik, ada juga yang berbentuk lesehan. Pengunjung bisa duduk-duduk santai seperti sedang "ngariung" di ruang keluarga. Apalagi juga disediakan televisi yang cukup besar, bisa untuk menonton film atau bahkan karaoke.
Tak hanya itu, pengunjung juga bisa makan atau berfoto dengan aneka aksesories khas Dayak dan Indian. Ada panah dan penutup kepala. Selain itu, ada tulisan-tulisan berbentuk persegi yang kekinian. Tulisan yang ditampilkan pun lucu-lucu, seperti "Sedang Mencari Jodoh di Soto Dayak" atau "Dulu Saya Pernah Kurus".
Yusri mengungkapkan ia memang sengaja menyediakan dinding tersebut untuk dicorat-coret pengunjung. Tujuannya agar dinding tersebut lebih cantik dan tidak kosong melompong. Saat awal dibuka pada September 2016 lalu, ia sebenarnya ingin menghias dinding tersebut dengan lukisan atau wallpaper, namun karena biayanya cukup tinggi ia mengurungkan rencana tersebut.
Ia akhirnya memiliki ide untuk membiarkan didinding tersebut hitam polos begitu saja agar bisa digunakan pengunjung untuk mengekspresikan diri. Ia mengatakan daripada keluar uang sekitar Rp6 juta untuk menghias dinding, mending membeli kapur warna-warni yang harganya hanya ratusan ribu. Apalagi bila dibuat seperti itu, dekorasi dinding di kedai makan tersebut lebih variatif, bisa berubah setiap waktu sesuai dengan coretan pengunjung, sehingga tidak perlu upaya ekstra agar suasana kedai selalu terlihat baru.
Yusri menuturkan, saat pertama kali berjualan soto ia hanya memiliki satu karyawan. Kini setelah dua tahun berlalu, ia sudah memiliki tujuh karyawan yang sangat solid. Tujuh karyawan tersebut bekerja dari Selasa hingga Minggu, mulai pukul 11:00 hingga 24:00 WIB. Namun karena semuanya laki-laki, akhirnya setiap Jumat diputuskan baru beroperasi setiap pukul 13:00 WIB, karena sebagian ada yang harus menjalankan shalat Jumat.