Apalagi vihara dan kelenteng di Tanjungpinang banyak yang unik. Ada Vihara Ksitigarbha Bodhisattva yang biasa dikenal dengan Vihara 1000 Patung. Setiap akhir pekan vihara ini sangat ramai dikunjungi wisatawan, baik wisatawan lokal maupun mancanegara dari Malaysia dan Singapura.
Ada juga Kelenteng Tien Shang Miao yang sudah berusia 206 tahun. Uniknya kelenteng yang dulu sempat dijadikan tempat tinggal Kapiten Cina Chiao Ch'en tersebut kini ditumbuhi pohon beringin yang lumayan besar. Akar pohon sebesar kepalan tangan manusia dewasa tersebut tumbuh merambat membuat kelenteng tersebut terlihat unik.
Menurut penduduk sekitar, pada akhir pekan atau hari-hari besar tertentu banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke kelenteng tersebut. Ada yang hanya sekedar berfoto, ada juga yang memang sekalian beribadah. Meski kondisinya terlihat kurang terawat, namun kelenteng tersebut ternyata masih rutin dijadikan tempat beribadah oleh warga sekitar.
Selain Kelenteng Tien Shang Miao dan Vihara 1000 Patung, ada juga Vihara Avalokitesvara Graha. Konon katanya vihara tersebut merupakan vihara terbesar se-Asia Tenggara. Saat berkunjung ke vihara tersebut, memang terlihat deretan patung yang berjejer rapi seolah menyambut setiap pengunjung.
Kami malah lebih tertarik mengobrol dan berfoto bersama dengan sang biksu yang begitu ramah. Selain itu berkeliling di dalam vihara melihat beragam patung, salah satunya Patung Dewi Kuan Yin Phu Sha yang berukuran sekitar 16,8 meter. Patung tersebut sangat mencolok, selain sangat besar --konon katanya terbuat dari tembaga seberat 4o ton dan dilapisi emas 22 karat-- juga karena saatitu sedang ada perayaan. Banyak umat Budha yang saat itu sedang khusu beribadah.
Toleransi beragama di Tanjungpinang memang sangat baik. Meski kental dengan budaya Melayu, tidak ada sentimen bagi ras atau suku tertentu. Para penduduk saling menghormati agama satu sama lain. Tidak ada pemaksaan kehendak karena salah satu suku merasa sebagai penduduk asli atau sebagai ras mayoritas.
Tempat beribadah masing-masing agama juga berdiri dengan megah sesuai dengan kebutuhan dari setiap masing-masing penduduk. Tidak sedikit dari tempat beribadah tersebut yang letaknya berdekatan --misalkan masjid dan vihara yang hanya berjarak beberapa meter, begitupula dengan gereja dan masjid, maupun vihara.
Ah, memang perbedaan itu lebih indah bila dihormati. Apalagi bila dimanfaatkan untuk kemajuan suatu kota. Setuju? Salam Kompasiana! (*)