Konfrontasi yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia pada awal tahun 1960-an, menorehkan sejarah tersendiri di Kepulauan Riau. Berdasarkan Buku "Mengungkap Fakta Pembangunan Batam" yang diterbitkan BP Batam, akibat insiden "Ganyang Malaysia" tersebut pemerintah menerbitkan uang khusus yang berlaku di Daerah Tingkat II Kepulauan Riau, yang meliputi Batam, Tanjungpinang, Lingga, Karimun, dan Pulau Tujuh.
Uang tersebut lebih dikenal dengan nama KRRp dengan nilai perbandingan USD1 setara dengan KRRp3,06. Sementara bila dengan rupiah umum, KRRp1 setara dengan Rp14,70. Uang tersebut diterbitkan untuk menekan dominasi dolar Malaya.Â
KRRp berlaku sebagai alat tukar dan pembayaran yang sah di wilayah Kepulauan Riau mulai 15 Oktober 1963 hingga pemerintah mampu menerbitkan uang rupiah yang berlaku di seluruh Indonesia.
Masih berdasarkan informasi dari Buku "Mengungkap Fakta Pembangunan Batam", uang tersebut terdiri dari uang kertas dan uang logam. Untuk uang kertas pecahan KRRp1 dan KRRp2,5 diberi gambar Presiden Soekarno dan ditandatangani Notohamiprodjo, kemudian diberi tanda tahun 1961 dengan seri dimulai dengan huruf KR.
Begitupula dengan uang kertas pecahan KRRp5, 10, dan 100, diberi juga gambar Presiden Soekarno, namun ditandatangani oleh dua orang, yakni Soetikno Slamet dan Indra Kasoema. Selain itu, tanda tahunnya juga lebih tua satu tahun, yakni 1960. Sementara untuk uang logam diterbitkan pecahan 1 sen, 5 sen, 25 sen, dan 50 sen.
Uang tersebut hanya berlaku di Daerah Tingkat II Kepulauan Riau, tidak bisa digunakan di wilayah lain di Indonesia. Namun KRRp ternyata hanya berlaku sekitar 8,5 bulan. Hal tersebut dikarenakan pemerintah akhirnya memberlakukan uang rupiah yang sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Saat ditarik dari peredaran, nilai uang KRRp1 setara dengan Mal$1, begitu juga dengan USD1 setara dengan KRRp1. Namun bila dibandingkan nilainya dengan rupiah umum, nilainya tetap lebih rendah yakni KRRp1 setara dengan Rp14,70, bukan KRRp1 setara dengan Rp1.
Tetap ada yang menggunakan dollar Malaysia dan Singapura
Meski sudah menggunakan mata uang sendiri, dan sempat ada aturan bahwa mata uang asing harus diserahkan kepada pemerintah bila sudah melewati masa batas penukaran. Namun pada kenyataannya,saat itu jual-beli di kalangan masyarakat tidak sedikit yang msih menggunakan dollar Malaysia dan Singapura.
Apalagi khusus untuk pulau-pulau di sekitar Batam, kala itu sedikit sulit untuk mendapatkan pasokan bahan pokok dari dalam negeri. Saat itu Batam belum dibangun seperti saat ini. Kawasannya masih hutan. Batam mulai dikembangkan oleh Otorita Batam (kini BP Batam) sebagai sebuah daerah industri sejak awal 1970-an.
Waktu itu pulau yang sangat menggeliat adalah Pulau Sambu yang menjadi basis Pertamina (sebelumnya dikelola Shell Belanda), kemudian disusul Pulau Belakang Padang yang kala itu justru sempat menjadi wilayah induk bagi pulau-pulau lain, termasuk Pulau Batam yang kini justru jadi pulau utama dan menaungi pulau-pulau kecil sekitar sebagai sebuah kota.
Saat itu warga Sambu dan Belakangpadang umumnya mendapatkan pasokan kebutuhan pokok dari Singapura. Berdasarkan keterangan dari salah satu sesepuh yang kini tinggal di Pulau Belakangpadang, setidaknya setiap satu bulan sekali ia dan keluarga melancong ke Singapura untuk berbelanja kebutuhan pokok. Ia biasanya berbelanja beragam pakaian untuk diri sendiri maupun si buah hati.
Kebetulan saat itu sang suami masih bekerja di Pertamina dan mereka tinggal di Pulau Sambu. Perusahaan minyak tersebut memang menyediakan kapal khusus untuk membawa warga Sambu ke Singapura secara gratis. Warga Sambu yang umumnya adalah pegawai Pertamina memang sangat dimanjakan, saat itu air bersih, listrik, rumah, sekolah, hingga hiburan lain disediakan perusahaan secara gratis.
Selain pergi langsung, terkadang mereka juga menitip membeli berbagai keperluan kepada awak kapal yang secara berkala melintasi pulau tersebut. Terlebih bila ada kenduri untuk pernikahan atau hal lain, mereka bisa menitip berkilo-kilo daging dan sayuran melalui si awak kapal.
Jarak Pulau Sambu memang sangat dekat dengan Singapura, begitupula dengan Pulau Belakangpadang. Bila teman-teman Kompasianer berkunjung ke Pulau Belakangpadang, dari pelabuhan bisa dengan jelas melihat bangunan-bangunan tinggi menjulang Singapura. Tidak perlu alat bantu teropong, melihat langsung tanpa menggunakan apapun sudah cukup jelas.
Beberapa warga sempat miliki KTP Singapura
Begitu sering pergi pulang Sambu/Belakangpadang-Singapura, beberapa warga bahkan ada yang sempat memiliki KTP Singapura. Saat itu, pergi ke Singapura memang tidak seketat seperti saat ini. Bahkan terkadang tidak memerlukan paspor, pergi ya pergi saja, tidak harus membawa surat ini itu.
Nenek dan kakek suami saya termasuk salah satu warga Batam yang sempat memiliki KTP Singapura. Namun setelah data kependudukan semakin diperketat, pemerintah Indonesia saat itu memberi pilihan, apakah tetap akan mempertahankan KTP Singapura dan menjadi warga negara sana, atau melepas identitas tersebut dan sepenuhnya menjadi WNI.
Melihat Indonesia yang begitu luas dan kaya akan sumber daya alam, tentu saja si kakek-nenek lebih memilih Indonesia. Apalagi saat itu Singapura juga belum semaju seperti saat ini. Namun beberapa kerabat kakek dan nenek ada yang lebih memilih menjadi warga Singapura, beberapa warga Malaysia.
Oleh karena itu, saat Idul Fitri atau Idul Adha jangan heran bila banyak warga negara Singapura atau Malaysia yang pulang kampung ke pulau tersebut. Sebab, ada beberapa warga di Pulau Belakangpdang yang memang lebih memilih hijrah menjadi warga negara tetangga.
Begitupula saat memberi uang amplop hari raya, dulu tak sedikit warga Belakangpadang yang lebih nyaman memberi uang kepada anak-anak yang berkunjung dengan mata uang dollar Singapura, walaupun hanya S$1 atau S$2, namun sekarang sudah tidak ada lagi sepertinya sejak diperketat aturan harus menggunakan rupiah mereka lebih memilih memberi dengan rupiah, atau karena dollar Singapura semakin merangkak naik nilainya.
Begitupula dengan tempat makan di pusat perbelanjaan, dulu saat saya awal-awal tinggal di Batam medio 2010/2011, masih banyak tempat makan yang menawarkan harga dengan dua mata uang, rupiah dan dollar Singapura, namun sekarang tidak lagi. Mereka sekarang hanya menggunakan rupiah.
Apalagi sekarang aturannya sudah semakin ketat, bila melanggar bisa dikenakan sanksi. Selain itu memang sudah seharusnya kita menggunakan mata uang sendiri. Meski lebih dekat (dan lebih murah) ke Singapura dibanding ke Jakarta, tetap saja Batam adalah bagian dari Indonesia. Sudah seharusnya mengikuti aturan Indonesia. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H