Batam sedikit "istimewa" dibanding kota-kota lain di Indonesia. Dua infrastruktur vital di kota yang berbatasan langsung dengan Singapura tersebut dikelola oleh swasta. Air bersih dikelola oleh PT Adhya Tirta Batam yang mendapat konsesi pengelolaan selama 25 tahun, sementara listrik dikelola oleh bright.
Saham bright sebenarnya tetap milik PLN --berdasarkan informasi dari website resmi "bright PLN Batam", saham sebanyak 1.119.238.034 dengan nilai Rp1.119.238.034.000 milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), sisanya sebanyak satu lembar saham senilai Rp1.000 milikYayasan Pendidikan dan Kesejahteraan PT PLN (Persero).
Bedanya dengan kota lain, pengelolaan listrik di Batam sepenuhnya mandiri. Tidak ada sama sekali bantuan dana dari pusat melalui APBN, maupun dana dari daerah melalui APBD. Alhasil, biaya untuk membuat Kota Batam terang benderang sepenuhnya berasal dari pelanggan.
Begitupula dengan pengelolaan air bersih. Tidak ada bantuan dana dari APBN maupun APBD. Agar air tetap bisa mengalir lancar dari Instalasi Pengolahan Air (IPA) ke setiap bangunan milik pelanggan, biaya sepenuhnya ditanggung oleh pelanggan. Sama sekali tidak ada bantuan dana dari pemerintah.
Pemerintah melalui BP Batam selama ini hanya membantu menyediakan waduk yang menjadi sumber air yang nantinya diolah sebagai air bersih. Air dari waduk tersebut juga tetap harus dibayar, tidak gratis begitu saja. Ada meteran khusus yang ditempatkan disetiap waduk untuk mengetahui jumlah pasti berapa banyak air yang diambil dari waduk tersebut.
Batam Dibangun Sedikit Berbeda
Batam memang dikembangkan sedikit berbeda. Saat pertama kali dibangun oleh pemerintah pusat, pulau tersebut hanya berupa wilayah yang nyaris kosong. Berdasarkan informasi dari buku yang diterbitkan BP Batam dengan judul "Mengungkap Fakta Pembangunan Batam", pulau seluas 415 km2 tersebut lebih menyerupai hutan belantara.
Tidak ada jalan beraspal, rumah sakit, jaringan air bersih dan aliran listrik yang dikelola secara profesional. Apalagi bandar udara dan pelabuhan internasional. Kalaupun ada beberapa penduduk yang memilih menetap di pulau tersebut, umumnya tinggal di sekitar pesisir pantai.
Setelah pemerintah pusat mulai memberi perhatian khusus, beragam infrastruktur di pulau sebelah selatan dari Malaysia tersebut mulai dibangun, termasuk jalan, bandar udara, pelabuhan, listrik, hingga waduk sebagai sumber air bersih karena sumber air bersih di Batam sangat terbatas.
Sumber listrik di Batam mulai dibangun oleh Pertamina, yang kemudian dilanjutkan oleh Otorita Batam (kini berganti nama menjadi BP Batam). Awalnya Pertamina membangun pembangkit listrik di Sekupang dengan kapasitas 4x560 kVA dan di Batu Ampar dengan kapasitas 6x1.310 kVA. Dua pembangkit listrik tersebut saat itu dapat menghasilkan daya sekitar 7,8 mw.
Saat itu karena energi listrik yang dihasilkan masih sangat terbatas, energi listrik tersebut masih diprioritaskan untuk kegiatan operasional proyek pembangunan Batam dan penerangan di rumah para karyawan Pertamina. Sementara, pelayanan listrik untuk para penduduk sekitar belum menjadi prioritas utama. Alhasil pada saat itu, masyarakat umum terpaksa menggunakan minyak atau diesel pribadi untuk penerangan saat malam hari.
Meski tidak mudah, secara bertahap Otorita Batam menambah pasokan listrik. Perpanjangan tangan dari pemerintah pusat tersebut sadar, listrik merupakan hal yang krusial --terlebih untuk wilayah yang akan dijadikan sebagai kawasan industri. Bila pasokan listrik tidak memadai, fasilitas sebaik apapun yang sudah disiapkan pemerintah tidak akan mampu menarik investor.
Selain listrik, air bersih juga menjadi konsen utama pemerintah. Apalagi Batam tidak memiliki sungai-sungai besar seperti kota-kota lain di Indonesia, Batam juga tidak memiliki gunung yang memberikan mata air berlimpah. Waduk tersebut dibangun untuk menampung air hujan.
Ada tujuh waduk yang dibangun Otorita Batam di pulau Batam, meski saat ini hanya lima waduk yang digunakan sebagai sumber air bersih. Hal tersebut dikarenakan waduk yang satu sudah terlalu tercemar limbah rumah tangga sehingga air bakunya sudah tidak ekonomis lagi diolah sebagai air bersih, sementara waduk yang satu lagi masih dalam proses desalinasi alami.
Pelayanan kelistrikan dan air bersih di Batam awalnya dilakukan sendiri oleh Otorita Batam. Namun karena industri di Pulau Batam yang terus berkembang dan membutuhkan pelayanan yang lebih profesional, akhirnya pengelolaan pelayanan listrik dan air bersih di Batam diserahkan kepada pihak lain.
Pelayanan listrik akhirnya diserahkan Otorita Batam kepada PLN sebagai pengelola listrik di Indonesia, meski statusnya bukan unit usaha melainkan anak perusahaan dan menerapkan sistem pelayanan mandiri yang sama sekali tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah dalam pengelolaannya.
Sementara air bersih yang tidak ada naungan dari pusat tetap berada di bawah wewenang Otorita Batam. Meski demikian, agar lebih fokus menangani industri di Batam, instansi pemerintah tersebut menyerahkan pengelolaan air bersih kepada swasta melalui sebuah perjanjian kerjasama.
PT Adhya Tirta Batam yang mengelola pelayanan air bersih di Batam hanya bertindak sebagai operator. Perusahaan yang mengolah dan mendistribusikan air bersih. Terkait penyediaan air baku, penentuan tarif, dan kebijakan lain yang krusial tetap berada dibawah otorisasi BP Batam/Otorita Batam.
Apa Kelebihan Infrastruktur Dikelola oleh Swasta?
Pelayanan listrik dan air bersih relatif baik. Meski di daerah perbatasan pasokan listrik dan air bersih terbilang lancar. Kedua perusahaan tersebut umumnya mampu menyediakan pasokan air maupun listrik sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat Batam. Meski beberapa kali saat kenaikan tarif ditolak bright PLN Batam sempat mematikan aliran listrik berkali-kali, namun alasannya bukan karena keterbatasan energi, namun lebih kepada penghematan biaya operasional. Saya dan beberapa warga Batam sempat berpikir mereka "maksa" naik tarif, walaupun katanya bukan.
Selain itu karena bukan uang negara, bila ada tambahan infrastruktur yang harus dibangun bisa lebih cepat direalisasikan. Tidak harus ketok palu dulu. Mungkin itu makanya beberapa waktu lalu, manajemen bright PLN Batam "ngotot" ingin mempertahankan kelistrikan di Batam sebagai anak usaha PLN, bukan unit usaha agar pengelolaan anggaran lebih lentur. Sebab, bila sudah menjadi unit usaha keputusan harus dari pusat. Katanya melalui koran "Batam Pos" tidak terlalu cocok diterapkan di Batam yang merupakan daerah industri yang memerlukan keputusan cepat.
Apa Kerugiannnya?
Dampak kurang baiknya adalah semua biaya terkait pelayanan kelistrikan dan air bersih seluruhnya harus dipenuhi oleh pelanggan. Dengan kata lain, perusahaan harus selalu untung, bila tidak, pelayanan akan mandek, menurun drastis kualitasnya, bahkan mungkin bisa jadi dapat berhenti total.
Saat laba yang dihasilkan lumayan besar, perusahaan dapat lebih leluasa merencanakan untuk menambah infrastruktur untuk meningkatkan pelayanan. Sebaliknya saat laba tidak sesuai harapan, ada beberapa infrastruktur yang mungkin harus tertunda pembangunannya. Padahal bisa jadi infrastruktur tersebut sangat krusial untuk dibangun.
Sementara bagi pelayanan publik yang masih mengandalkan APBN dan APBD masih bisa berharap untuk menggantungkan harapan dari dana negara tersebut. Tinggal mengajukan dan membuat rincian, bila dirasa diperlukan besar kemungkinan mendapat persetujuan untuk dibangun segera.
Namun sebenarnya perusahaan swasta maupun perusahaan yang dikelola oleh pemerintah, sebaiknya memang mendapat laba yang proporsional. Apalagi bila perusahaan pelayanan publik, memang harus untung. Bila tidak untung, bagaimana bisa leluasa merencanakan untuk meningkatkan pelayanan? Setuju? Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H