Saat masih duduk dibangku sekolah menengah, ada satu janji yang saya ucapkan pada diri sendiri. Ikrar yang saya ungkapkan dalam hati berkali-kali – berulang-ulang, setiap tiba waktu makan siang dan makan malam. Sebuah janji yang tidak begitu umum bagi seorang pelajar SMA.
Sejak berseragam putih-abu saya berikrar, kelak bila saya sudah menikah, saya akan memasak sendiri makanan yang akan dihidangkan untuk suami dan anak (anak). Saya akan mengolah sendiri nasi beserta lauk pauk yang akan disantap oleh keluarga kecil saya. Kalaupun beli, tidak untuk makanan utama.
Janji tersebut sempat terucap karena mama saya pintar memasak, akan tetapi sejak saya beranjak dewasa, beliau hanya rajin membuat sarapan. Untuk makan siang dan makan malam, mama biasanya membeli lauk di warung makan dekat rumah. Terkadang saya diberi uang lebih untuk membeli makan diluar.
Sekali dua-kali saya senang diberi uang agak banyak sehingga bebas menentukan sendiri ingin makan siang apa. Awalnya saya juga bahagia saat makan malam bisa merasakan empal, dendeng, atau rendang buatan tetangga yang membuka warung makan lumayan besar. Namun, lama-lama bosan. Seenak apapun makanan tersebut, tetap saja sensasinya berbeda dengan makanan olahan sendiri. Apalagi bila harus dinikmati hampir setiap hari.
Akhirnya setelah ratusan hari merasakan masakan tetangga, mama saya kembali rajin memasak. Beliau hanya sesekali membeli lauk-pauk saat memang betul-betul tidak sempat memasak, atau saat kami lebih ingin mencecap semangkuk mie ayam Sido Mampir dibanding menikmati sepiring ayam bakar pedas.
Meski sudah bertekad untuk menyiapkan sendiri semua makanan untuk keluarga saat sudah menikah kelak, saya tak lantas hobi memasak. Saya malah lebih suka membersihkan rumah. Saat mama sibuk mengiris bawang, saya memilih mengepel, begitu pula saat mama kerepotan mengolah ayam, saya lebih suka mengelap jendela kaca yang mulai berdebu.
Apalagi menurut mama saya – yang sudah belajar memasak sejak kecil, mengolah makanan itu mudah. Keahlian memasak akan datang dengan sendirinya setelah terbiasa. Sehingga, mama saya bilang belajar memasaknya nanti saja setelah saya betul-betul serius akan menapaki bahtera rumah tangga. Beliau nanti yang akan membimbing saya langsung bagaimana cara memasak yang lezat.
Namun apa daya, dua bulan sebelum saya membina rumah tangga mama meninggal. Alhasil saya terpaksa harus menikah “dengan tangan kosong” – dengan keahlian memasak yang benar-benar nol. Jangankan memasak opor atau soto ayam, memasak tumis kangkung saja saya tidak bisa.
Hasilnya, enak banget, tetapi itu saat memasak bersama-sama istri sepupu. Saat saya mencoba memasak sendiri hasilnya tidak karuan. Ayam goreng buatan saya terasa getir karena kebanyakan memasukan kunyit saat ayam diungkeb. Sementara sayur asam yang saya buat lebih mirip kuah rujak saking asamnya. Mungkin karena saya terlalu banyak memasukan asam jawa.
Alhasil, air mata saya merebak setiap kali waktu makan tiba. Apalagi setelah menikah saya langsung pindahan dari Bogor, Jawa Barat, ke Batam, Kepulauan Riau. Saat itu, satu-satunya penolong saya adalah aneka website/blog dan secarik kertas dari istri sepupu yang berisi beberapa resep masakan.
Namun hanya mengandalkan deretan huruf tanpa memiliki sensememasak benar-benar ujian. Menakar bumbu sesuai dengan yang disarankan oleh si empunya resep benar-benar sulit. Apalagi bila sebelumnya tidak memiliki pengalaman memasak sama sekali. Sehingga, tidak ada patokan untuk mengira-ngira.
Seiring kemampuan memasak yang terus membaik – hasil mencontek dari blog dan youtube, saya tak lantas meninggalkan aneka bumbu praktis siap pakai Sajiku. Bedanya, bila dulu menggunakan Sajiku Ajinomoto sebagai bumbu utama masakan, kini saya mulai memodifikasi masakan dengan membaurkan Sajiku dengan bumbu segar alami yang dibuat sendiri.
Saat membuat ayam goreng, saya biasanya menggunakan bumbu halus berupa ketumbar, bawang putih, jahe dan kunyit, serta sereh dan daun salam agar harum. Namun supaya rasa ayam goreng tersebut lebih maknyusss, saya biasanya menambahkan Bumbu Praktis Sajiku Ayam Goreng saat ayam tersebut diungkeb.
Jujur saja, Bumbu Praktis Sajiku sangat membantu mendongkrak rasa percaya diri saya yang tidak mahir memasak. Setiap memasak, saya selalu menaburkan Sajiku, tujuannya untuk mengoreksi bumbu yang saya buat – khawatir ada bumbu yang kurang, sehingga bisa dilengkapi dengan Bumbu Praktis Sajiku.
Saya suka produk-produk yang ditawarkan Ajinomoto karena lengkap. Dulu saat masih berstatus sebagai pelajar saya tahunya Ajinomoto hanya mengeluarkan produk penguat rasa, namun ternyata perusahaan tersebut terus berinovasi dengan meluncurkan beragam varian, mulai dari saus tiram hingga tepung bumbu.
Selain itu, petunjuk pemakaian produk juga dicantumkan dengan jelas dan mudah diikuti – bahkan bagi yang baru pertama kali menjejak dapur. Untuk kemasan tertentu, bahkan dilengkapi dengan resep makanan praktis, mulai dari cara membuat mie siram cap cay hingga membuat tempe panggang lezat.
Satu yang membuat hati lebih nyaman menggunakan produk Ajinomoto adalah jaminan halal dan aman dikonsumsi. Ajinomoto menjadi produsen MSG pertama di Indonesia yang mendapat Sertifikat Sistem Jaminan Halal (SJH). Seluruh produk yang dibuat perusahaan tersebut sudah dipastikan halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ah, terimakasih Ajinomoto sudah membantu saya mewujudkan janji untuk memasak sendiri makanan untuk keluarga – meski sesekali masih “ingkar janji” dengan membeli masakan dari warung sebelah karena tidak kuat menahan godaan untuk mencicip pepes ayam yang sangat lezat atau mencecap gurihnya sup ikan. Terimakasih sudah membantu mempermudah perjuangan saya mengarungi rumah tangga tanpa bimbingan ibunda. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H