“Hai….” Ucap Balqis sedikit gelagapan.
Abin masih seperti dulu. Ia masih terlihat menarik dan tampan.
“Akhirnya aku menemukanmu, Balqis. Tak menyangka kamu merintis usaha kuliner, di Kota Batam lagi,” ujarnya.
“Maaf Pak Abin, Mbak Winda, saya buru-buru. Saya harus mengantar pesanan ke tempat lain. Terimakasih sudah memesan cake dan kopi kami,” ucap Balqis.
***
Balqis menyesap Kopi Gayo yang sudah mulai mendingin. Meski rasanya sudah tak senikmat saat hangat, rasa gurih dari kopi tersebut masih tersisa. Kopi Gayo memang berbeda dengan kopi lain. Rasa kopi tersebut manis, tidak ada rasa pahit yang tersisa di lidah usai kita meneguk cairan itu.
Awalnya Balqis enggan meminum kopi favoritnya itu. Ia hanya ingin menghirup aromanya untuk sedikit meringankan rasa berat di kepalanya. Oleh karena itu ia sempat membiarkan kopi itu hingga 45 menit. Namun mengingat harga Kopi Gayo yang lumayan mahal, ia akhirnya memutuskan untuk menyesap cairan hitam tersebut.
“Migren Mbak Balqis kambuh lagi?”
Haya salah satu staf di café yang dikelola Balqis mendekatinya dengan khawatir.
“Perlu Haya ambilkan obat, Mbak?” tanya Haya yang masih memiliki pertalian kerabat dengan Balqis.
Balqis menggelang. Ia tidak membutuhkan obat pusing ataupun migren. Ia hanya membutuhkan obat untuk melupakan beberapa kejadian yang terjadi dalam hidupnya tiga tahun ke belakang.