Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ini Penyebab Karyawan Terbaik "Resign"?

31 Januari 2016   18:15 Diperbarui: 16 Oktober 2017   18:35 430166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 “Dear Boss, I quit…….”

Saya sempat terperanjat saat salah satu teman mengabarkan sudah keluar dari pekerjaan yang ia tekuni sekitar empat tahun terakhir. Saya terkaget-kaget karena pekerjaan yang ia tinggalkan tersebut, merupakan pekerjaan yang teman saya impikan sejak ia menapaki bangku kuliah.

Selama ini tidak pernah terdengar kesah dari teman saya itu. Ia malah kerap bercerita bahwa karir yang ia tekuni sangat seru, sesuai passion, bla…bla…bla… saya terkadang suka iri kala ia bercerita mendapatkan fasilitas ini-itu dari kantor tempatnya bekerja karena kinerjanya dinilai baik.

Teman saya tersebut ternyata bukan satu-satunya yang resign, ada teman saya satu lagi yang mengundurkan diri dari pekerjaan yang ia tekuni selama beberapa tahun terakhir. Padahal sepengetahuan saya, teman saya itu merupakan salah satu karyawan yang cukup diandalkan di kantor tempatnya bekarja.

Apa yang menyebabkan mereka resign? Usut punya usut ternyata ini yang menyebabkan mereka memutuskan untuk “berlabuh” dan mencoba mencari “kapal” lain sebagai sarana untuk berlayar di lautan karir.

MERASA TIDAK DIHARGAI

Teman saya mengatakan, secinta apapun kita dengan pekerjaan yang dijalani, tetap memilih keluar bila hasil kerja kita tidak dihargai. Bukan ingin mendapatkan penghargaan dengan puji-pujian, atau pengakuan yang bersifat seremonial, namun setidaknya ada pengakuan atas jerih payah yang sudah dilakukan dengan baik.

Bila sudah melakukan yang terbaik – dan rekan kerja  juga belum tentu bisa melakukan pekerjaan tersebut sebaik yang sudah kita lakukan, akan tetapi atasan/pimpinan tetap juga memandang sebelah mata, teman saya bilang, untuk apa dilanjutkan? Di luar sana masih banyak perusahaan lain yang mau menghargai  dan menampung ide-ide brilian kita.

Ia bilang, terkadang fakir rasa penghargaan dari atasan akan menyebabkan ide-ide kita tersumbat. Kita malas melakukan yang terbaik, karena toh kalaupun sudah melakukan hal yang paling baik, tidak akan dihargai. Sehingga, daripada menghambat karir, lebih baik keluar secepatnya dan mencari tempat kerja lain.

BEBAN PEKERJAAN TIDAK BERBANDING LURUS DENGAN BESARAN GAJI

Saat beban pekerjaan terus bertambah, namun gaji tidak jua mengalami peningkatan selama berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun, teman saya bilang ada baiknya resign. Ia mengatakan, tidak perlu takut tidak mendapat pekerjaan baru, selama kita memiliki keahlian, kinerja baik, dan kemauan untuk maju, kesempatan selalu terbuka lebar.

Usia yang sudah tidak lagi muda bukan halangan untuk mendapatkan pekerjaan baru. Untuk posisi tertentu seperti frontliner, umur belia mungkin suatu keharusan, namun pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus dengan pengalaman yang mumpuni, umur tidak akan menjadi batu sandungan.

Teman saya bilang, mau sampai kapan bertahan dengan tumpukan pekerjaan yang semakin bertambah, sementara gaji justru semakin berkurang karena inflasi? Mau bekerja rodi?

PERUSAHAAN MEMPROMOSIKAN ORANG YANG SALAH

Saat mendapat tambahan pekerjaan, saat dibebani tanggung jawab yang lebih besar, mungkin awalnya kita sambut dengan sukacita. Hal tersebut dikarenakan, suatu saat nanti kita berharap akan ada promosi sebagai kompensasi tambahan tanggung jawab.

Namun setelah bekerja sepenuh hati memberikan yang terbaik kepada perusahaan, promosi tak kunjung tiba, bahkan yang mendapat promosi adalah rekan sekerja yang secara kinerja dinilai biasa-biasa saja oleh kita dan rekan-rekan sejawat, haruskah kita tetap bertahan?

Teman saya bilang, no way! Lebih baik tinggalkan perusahaan seperti itu.  Tidak ada gunanya bertahan di tempat kerja yang pimpinanya tidak bisa membedakan mana karyawan unggul dengan karyawan yang terpoles unggul.

TIDAK DIPERCAYA DAN TERUS DIAWASI

Tidak dipercaya dengan tidak dihargai bedanya tipis. Teman saya bilang, tidak dipercaya umumnya bila boss terus-terusan mengecek pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kita. Alhasil saking seringnya dicek, pekerjaan yang dibebankan tersebut ujung-ujungnya malah tidak selesai. Lha, bagaimana tidak terbengkalai bila setiap jam dipanggil menghadap? Apalagi bila pekerjaan tersebut membutuhkan kreativitas tinggi.

SUASANA KERJA TIDAK MENYENANGKAN

Ini sepertinya menjadi momok bagi setiap karyawan. Meski gaji besar, pekerjaan sesuai passion, boss ok, namun bila rekan kerja dan suasana kantormenyebabkan rasa tidak nyaman, banyak pekerja yang akhirnya memutuskan untuk resign.

Teman saya bilang, memang tidak ada pekerjaan yang 100 persen nyaman. Namanya juga bekerja, kalau belanja baru nyaman hehehe, namun bila kita mampu meminimalisir sumber rasa tidak nyaman tersebut, mengapa tidak? Bagaimana menurut teman-teman Kompasianer? Salam Kompasiana! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun