Â
Â
Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau, sepertinya sedikit beruntung dibanding pulau-pulau terluar lain di Indonesia. Meski hanya memiliki luas 68,4 kilo meter2 dengan jumlah penduduk sekitar 19 ribu jiwa, pemerintah pusat berencana membangun Sea Water Reverse Osmosis (SWRO) atau pengolahan air laut menjadi air tawar di pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura tersebut melalui dana APBN.
Â
Tim Kementrian Pekerjaan Umum (PU) bahkan sudah melakukan survey lokasi pembangunan SWRO. Ada lima titik yang direkomendasikan untuk jadi lokasi pengolahan air laut menjadi air tawar tersebut di Kelurahan Tanjungsari dan Kelurahan Sekanak Raya. SWRO tersebut diperkirakan dapat memproduksi air 5 liter per detik dan mampu mengaliri sekitar 1.200 pelanggan, dengan asumsi setiap pelanggan memakai 10 m3 air bersih/bulan.
Â
Air bersih di Pulau Belakang Padang memang menjadi konsen tersendiri. Masyarakat di pulau tersebut sebelumnya hanya memanfaatkan air hujan yang ditampung di bak penampungan yang dibuat oleh masing-masing warga di rumah mereka untuk keperluan mandi dan mencuci. Sementara untuk air minum dan memasak, mereka umumnya menggunakan air galon, meski ada juga beberapa warga yang nekat memasak air hujan untuk minum.
Â
Curah hujan di Belakangpadang memang cukup tinggi. Mereka biasanya memodifikasi atap rumah agar setiap kali hujan, airnya langsung mengalir ke bak penampungan. Sehingga, ketersediaan air tetap terjaga. Bila hujan tak kunjung tiba, warga biasanya membeli air yang dikemas dalam drum dan dijajakan melalui boat.
Â
Beberapa bulan terakhir ini warga Belakang Padang sebenarnya sudah mulai menikmati aliran air yang disalurkan dari Dam Sekanak Raya yang dibangun pemerintah beberapa waktu lalu. Namun suplai air yang disalurkan tidak begitu handal. Warga harus rela bergiliran menerima aliran air bersih setiap lima hari sekali, itupun harus memasang tambahan pompa agar air mengalir kerumah mereka.
Â
Selain itu air dari dam tersebut juga disalurkan begitu saja – tidak diolah, alhasil air yang diterima warga masih terlihat keruh. Parahnya sejak dam tersebut dikeruk agar menampung air lebih banyak, air yang disalurkan ke warga kualitasnya semakin memburuk. Air tersebut bercampur dengan rembesan air laut sehingga terasa asin.
Â
Pihak pengelola sepertinya sadar akan kekurangan pelayanan mereka. Saat air sama sekali tidak mengalir kerumah warga selama satu bulan penuh, warga hanya dibebankan untuk membayar abudemen sebesar Rp20 ribu/bulan. Namun bila air mengalir – meski tidak setiap hari, warga umumnya membayar sekitar Rp40 ribu/bulan.
Â
Terkait rencana pembangunan SWRO, warga tentu menyambut baik. Hanya saja harga air olahan tersebut diperkirakan akan mencapai Rp40 ribu hingga Rp50 ribu/m3, warga meminta agar pemerintah mensubsidi tarif sehingga warga dapat menikmati air layak konsumsi dengan harga terjangkau.
Â
Umumnya tarif air bersih yang dinikmati pelanggan domestik mendapatkan subsidi dari pelanggan kategori komersial sehingga lebih terjangkau, hanya saja di Pulau Belakang Padang sama sekali tidak ada industri – paling yang ada hanya ruko dan kantor pemerintahan, sepertinya agak sulit menerapkan tarif subsidi seperti itu.
Â
Sebenarnya saat musim kemarau tiba, warga Belakang Padang kerap membeli air dengan harga yang tidak murah. Mereka umumnya membeli 200 liter air seharga Rp15 ribu. Itu berarti untuk 1m3 air yang dibeli, mereka harus merogoh uang sebesar Rp75 ribu (1m3 = 1.000 liter). Harga SWRO tersebut bila dibandingkan dengan harga air eceran yang dijual per drum sebenarnya masih lebih murah. Hanya saja, meraka kan tidak setiap saat membeli air seperti itu.
Â
Apalagi warga Belakang Padang tidak semuanya mampu. Banyak juga yang berprofesi sebagai nelayan, penarik pancung, hingga tukang becak, meski tidak sedikit juga yang berprofesi bonafid dengan gaji yang lumayan tinggi.
Â
Ah, semoga proyek SWRO tersebut segera terwujud. Apalagi luas lautan di Kecamatan Belakang Padang lebih besar dibanding luas daratan. Apalagi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga memperkirakan sebagian wilayah Indonesia akan dilanda gelombang panas El Nino pada rentang Juli hingga November 2015, tepatnya El Nino Moderat. Meski Batam diprediksi tidak akan mengalami dampak El Nino secara langsung, saat ini kondisi air di dam menyusut sangat tajam karena hujan yang jarang turun. Apalagi pada rentang 1997/1998 Batam pernah mengalami El Nino. Batam dilanda kekeringan selama hampir delapan bulan dan kesulitan air bersih. Bila ada SWRO diharapkan kebutuhan warga akan air bersih dapat lebih terpenuhi. Saat ada isu El Nino, warga juga jadinya tidak terlalu was-was karena sumber air baku tersedia sangat melimpah . Namun, mudah-mudahan air bersih hasil SWRO tersebut dijual dengan harga yang terjangkau. Semoga. Salam Kompasiana! (*)
Â
 Sumber:
http://www.tanjungpinangpos.co.id/2015/118993/lokasi-pembangunan-swro-mulai-disurvei/
http://www.antarakepri.com/berita/33966/warga-pulau-belakangpadang-segera-nikmati-air-standar-who
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H