[caption id="attachment_359410" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Tempat penjualan ikan di Pasar Belakang Padang."][/caption]
Ceu, kangkungna sakilo
Minggu pagi, 14 Desember 2014, saat berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pasar Belakang Padang, Kota Batam, saya langsung menajamkan indera pendengaran. Saya yang sedang khusuk memilah jeruk santang, langsung tidak mempedulikan jeruk-jeruk itu saat mendengar percakapan antara penjual dan pembeli dalam Bahasa Sunda.
Kacang panjangna oge, Ceu, tapi ulah loba teuing
Saya yang awalnya ragu untuk menyapa, akhirnya memberanikan diri menanyakan dari mana asal ibu-ibu yang asik mengobrol dengan Bahasa Sunda tersebut? Mereka berdua mengaku dari Bandung dan sudah lama menetap di Pulau Belakang Padang – yang memerlukan waktu tempuh sekitar 20 menit dengan menggunakan perahu boat dari Pulau Batam.
[caption id="attachment_359411" align="aligncenter" width="534" caption="Dok Pribadi/Penjual ikan dan pembeli saat berinteraksi. "]
Ibu penjual sayuran tersebut ternyata bukan satu-satunya pedagang yang berasal dari tanah Pajajaran, hanya beberapa blok dari kios tersebut ada penjual sarapan pagi yang berasal dari Cianjur. Saat menikmati bubur ayam dan segelas teh o, saya berasa sedang mudik ke Sukabumi. Hal itu dikarenakan penjual bubur, pembeli dan beberapa asistennya di kedai tersebut mengobrol dengan bahasa daerah yang lumayan saya kuasai.
Saat mendengar Bahasa Sunda digunakan di tanah Melayu, saya memang agak sedikit takjub. Apalagi Belakang Padang merupakan pulau terluar Indonesia yang jaraknya sangat dekat dengan Singapura. Melalui salah satu sudut di Pasar Belakang Padang, kita dapat melihat deretan gedung bertingkat yang ada di negeri Singa.
[caption id="attachment_359413" align="aligncenter" width="534" caption="Dok Pribadi/Bila di zoom dari sudut ini dapat terlihat deretan gedung Singapura."]
Namun justru karena jarak yang begitu dekat dengan negeri tetangga, kerabat suami yang memang asli Belakang Padang mengungkapkan, banyak orang Sunda yang akhirnya menetap di Pulau Penawar Rindu tersebut. Mereka umumnya eks TKW yang tidak lagi pulang ke daerah asal. Setelah masa kerja di Singapura habis, beberapa dari mereka menikah dengan penduduk pulau yang ada di sekitar Belakang Padang, kemudian membuka usaha. Setelah usaha mereka berhasil, biasanya mereka mengajak sanak-saudara yang tinggal di kampung halaman untuk ikut merantau. Itu makanya tidak heran bila pasar Belakang Padang, terkadang seperti pasar tradisional yang ada di daerah Jawa Barat karena perbincangan antara pembeli dengan penjual tersebut.
Selain Suku Sunda, Etnis Cina juga cukup mendominasi Pasar Belakang Padang. Mereka umumnya membuka toko serba ada yang menjual beragam kebutuhan pokok, mulai dari kosmetik, makanan ringan, hingga sembako. Sebagian dari mereka ada juga yang membuka kedai makanan dan minuman. Sebagian Etnis Tionghoa tersebut ada juga yang menjual ikan segar hasil melaut para nelayan.
[caption id="attachment_359414" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Toko bangunan lengkap dengan perahu untuk mengantar."]
Hasil melaut para nelayan tersebut ditampung oleh para pengepul yang kemudian dijual oleh para pedagang di pasar. Ikan yang dijual merupakan ikan segar dan dipastikan tidak mengandung bahan pengawet. Harga yang ditawarkan juga lebih murah bila dibandingkan dengan membeli di pasar tradisional Pulau Batam. Selisih harganya bisa Rp10.000 hingga Rp15.000/kg ikan.
***
[caption id="attachment_359415" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Deretan sendal yang dijual."]
Pasar Belakang Padang merupakan tempat perbelanjaan satu-satunya yang ada di Pulau Belakang Padang, Batam. Pasar tersebut berada disamping kanan Pelabuhan Belakang Padang atau sebrang Polsek Belakang Padang. Bagian depan pasar tersebut dipenuhi oleh ruko yang menjual beragam barang kebutuhan sehari-hari yang dibangun secara permanen.
Beberapa ruko tersebut ada juga yang menjual makanan dan minuman khas Melayu. Ada yang menjual prata, mie lendir, nasi lemak, dan beragam penganan lain yang menggugah selera. Umumnya, para penduduk yang tidak sempat memasak, atau pendatang yang berlibur ke Belakang Padang dari pulau-pulau sekitar, mampir untuk mencicipi aneka masakan di kedai-kedai tersebut untuk sarapan.
[caption id="attachment_359416" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Salah satu kedai di Pasar Belakang Padang."]
Apalagi harga yang ditawarkan di kedai-kedai tersebut cukup terjangkau. Umumnya sekitar Rp15.000 s/d Rp25.000 untuk sekali makan – sudah termasuk satu porsi makan dan minum. Minuman favorit pengunjung adalah teh tarik hangat (teh yang di campur susu) dan teh o (teh manis hangat), meski ada juga beberapa yang nekat memesan teh obeng (teh manis dingin) ditengah cuaca pagi yang lumayan dingin.
[caption id="attachment_359417" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Deretan penjual pakaian."]
Meski terletak di pulau yang cukup terpencil, Pasar Belakang Padang menawarkan beragam barang yang sangat lengkap dengan harga terjangkau. Pasar tersebut menawarkan aneka sayuran, buah-buahan, pakaian, sepatu, elektronik, furniture, hingga mainan anak-anak yang kerap dimainkan anak-anak kecil di kota besar.
Saat anak saya merengek meminta mainan, saya sempat khawatir dulu saja saya membeli mainan sejenis itu di salah satu mall lumayan besar di Kota Bogor harganya sekitar Rp75.000. Bila saya membeli di pasar tersebut pasti harganya lebih mahal karena tempatnya kan di pulau kecil. Sayang kan selisih uangnya, ibu-ibu pelit =D.
[caption id="attachment_359419" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Pembeli sibuk memilah sayur."]
Namun ternyata saya salah. Saat saya tanyakan harganya, si penjual menyebut nominal yang sangat masuk akal – hanya sepertiga dari harga di mall besar di Bogor. Saat saya tanya mengapa bisa sangat murah harganya, ia mengatakan membeli langsung dari luar negeri, sehingga harganya sangat kompetitif.
Pedagang tersebut juga menawarkan tas branded kw yang biasa dijual di Pulau Batam. Harga yang ditawarkan oleh pedagang tersebut harganya lebih murah sekitar Rp50.000 s/d Rp100.000 dibanding tas-tas kw yang dijual di Batam, padahal dengan kualitas yang sama baiknya. Ia mengatakan harga tersebut bisa sangat bersaing karena mengambil langsung dari Korea dan Bangkok, Thailand.
[caption id="attachment_359420" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Copet sepertinya tidak ada, tapi ada pengemis. Sila sedekah seikhlasnya."]
Katanya banyak orang-orang Jakarta yang kebetulan berlibur ke Belakang Padang, memborong beberapa tas. Saya yang meski agak naksir dengan beberapa tas yang dipajang, memilih untuk tidak membeli – soalnya tidak dianggarkan sejak awal – apalagi di Pulau Belakang Padang belum ada atm (seperti yang saya tulis di artikel beberapa waktu), sehingga bila kita kekurangan uang, bisa-bisa nanti tidak bisa pulang =D.
Puas melihat-lihat tas, saya menawar-nawar baju anak. Baju-baju princess jaman sekarang yang biasanya di Batam saya beli sekitar Rp50.000, di pasar tradisional tersebut dijual dengan harga Rp30.000. Untuk baju yang ukuran kecil bahkan dijual dengan harga Rp20.000, Pedagang pakaian tersebut mengatakan, harga tersebut sangat bersaing karena mereka membeli langsung dari pemasok.
[caption id="attachment_359423" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Suasana Pasar Belakang Padang."]
Namun harga lebih terjangkau tersebut ternyata tidak berlaku untuk sayuran. Harga sayur mayur sedikit lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan para pedagang mengambil sayur mayur dari Pulau Batam. Sehingga bila di Batam kangkung satu genggaman bisa dibeli dengan harga Rp4.000, di Belakang Padang harganya sekitar Rp6.000.
***
[caption id="attachment_359424" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Ada yang jual burung juga."]
Saya sudah beberapa kali berkeliling di Pasar Tradisional Belakang Padang. Meski sudah berkunjung lebih dari sekali, saya tetap saja merasa takjub dengan pasar tersebut. Apalagi kios-kios di pasar tersebut berdiri diatas laut. Pengelola membangun penopang beton untuk membuat bangunan dan jalan.
[caption id="attachment_359425" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Penjual bendera sekaligus tukang jahit."]
Ada satu toko bangunan yang berdiri diatas air yang menurut saya lumayan unik. Toko bangunan yang menjual semen, pasir, keramik, dll tersebut tidak dibangun permanen, namun dibuat dari kayu. Bagian depan toko tersebut dilabuhi perahu yang cukup besar. Sepertinya perahu tersebut untuk mengirim aneka bahan bangunan ke pulau-pulau sekitar Pulau Belakang Padang.
Meski bernama pasar tradisional, Pasar Belakang Padang terlihat cukup bersih. Jalanan yang cukup terbatas terlihat bersih dan tak henti dilintasi oleh becak dan kendaraan roda dua. Beberapa pembeli bahkan berbelanja langsung dari motor. Mungkin mereka malas memarkirkan motor dan berbelanja dengan cara berjalan kaki.
[caption id="attachment_359426" align="alignnone" width="500" caption="Dok Pribadi/Toko Furniture."]
Walaupun penempatan penjual terlihat tidak begitu teratur, berkeliling di pasar tersebut sangat menyenangkan. Apalagi bagi yang pertamakali berbelanja. Pasti menimbulkan kesan tersendiri. Penjual buah yang ditempatkan disebalah toko pakaian, penjual sayur yang menjajakan dagangan di sebelah toko emas, sama sekali tidak mengganggu pemandangan. Mungkin karena para pedagang itu sangat menjaga kebersihan. Mereka tidak menumpuk sampah sehingga tidak menimbulkan bau tak sedap.
[caption id="attachment_359427" align="alignnone" width="500" caption="Dok Pribadi/Pos Pelayanan Teknis."]
Pasar Belakang Padang hanya mengelompokan penjual ikan di sayap sebelah kanan pasar. Mereka menempati bangunan sendiri yang lumayan luas. Mungkin pengelola memisahkan penjual ikan di bangunan baru untuk menghindari bau amis dari ikan-ikan yang biasanya siap disiangi oleh penjual sebelum dijual ke pembeli.
***
[caption id="attachment_359429" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Toko Emas."]
Oya meski tercatat sebagai penduduk Kecamatan Belakang Padang, saya sendiri lebih memilih tinggal di Pulau Batam karena alasan pekerjaan. Meski begitu, secara berkala saya dan suami rutin pulang ke Belakang Padang untuk menengok keluarga besarnya yang tersebar di pulau tersebut.
Terakhir saya dan suami ke Belakang Padang, Sabtu sore, 13 Desember 2014 lalu. Ternyata kunjungan tersebut sedikit kurang tepat. Bulan Desember merupakan musim angin utara. Saat kami berangkat dari Pelabuhan Sekupang, hujan turun rintik-rintik. Meski langit terlihat menghitam, kami memaksakan diri tetap berangkat karena merasa sudah terlanjur jalan.
Alhasil selama 20 menit saya berdoa tak henti-henti di dalam hati karena perahu goyang ke kiri dan kanan lumayan kencang. Gelombang laut sangat kuat, apalagi beberapa meter setelah perahu berangkat dari pelabuhan, hujan turun sangat deras. Selama di perahu, saya merasa seperti penumpang gelap yang akan diselundupkan ke negara tetangga seperti yang diceritakan di film-film, hehehe lebay.
Anak dan suami saya terlihat lebih tenang. Mereka duduk manis sambil memejamkan mata dan berlindung dibalik payung yang dibuka lebar-lebar di bagian depan perahu untuk menghalau air hujan. Sementara saya, terlihat sangat gelisah, mengintip keluar dari balik payung untuk melihat sejauh mana perahu tersebut sudah berlayar (baca: kapan sampai).
Saat penutup perahu dibuka karena sudah mendekati Pelabuhan Belakang Padang, dengan jelas saya melihat goyangan air laut yang sedikit menyeramkan. Air laut itu meliuk-liuk seolah akan menenggelamkan perahu. Para penumpang, dengan terburu-buru langsung naik ke pelantar. Saya mencatat dalam hati, saat musim hujan, saat musim angin utara, saya tidak akan mau berangkat ke Belakang Padang sore hari – diatas pukul 16:00 WIB.
[caption id="attachment_359430" align="alignnone" width="667" caption="Dok Pribadi/Tempat reparasi barang elektronik."]
Meski demikian, berjalan-jalan menyusuri Pasar Belakang Padang sangat menyenangkan. Selain berbelanja, di Belakang Padang pengunjung dapat berwisata kuliner dengan harga terjangkau. Apalagi saaat malam hari, tak jauh dari Pasar Belakang Padang, ada Lang Lang Laut yang menyediakan aneka hiburan dan makanan seperti pasar malam.
Perjalanan Batam – Belakang Padang juga sebenarnya sangat seru. Apalagi bila angin hanya bertiup lembut. Kita bisa melihat hamparan laut biru dengan deretan samar gedung pencakar langit Singapura. Kita juga bisa melihat kapal-kapal besar yang terkadang melaut di rute Batam-Belakang Padang.
Jadi tertarik berkeliling ke Belakang Padang? Jangan lupa berangkat pagi-pagi atau siang hari untuk menghindari angin utara yang bisa membuat perahu meliuk-liuk. Yuuk selamatkan pasar rakyat dengan berbelanja di pasar tradisional. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H