[caption id="attachment_393373" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]
Beberapa hari terakhir ini, koran lokal Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) sempat menurunkan berita terkait persyaratan masuk Sekolah Dasar (SD) yang harus melampirkan surat imunisasi dasar secara lengkap. Hal tersebut berdasarkan surat edaran dari Gubernur Kepri. Berita selengkapnya dapat dilihat dari link terlampir: http://batampos.co.id/17-01-2015/daftar-anak-masuk-sd-wajib-sertakan-surat-imunisasi/
HM Sani yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Kepri, mungkin bermaksud baik. Ia ingin memastikan anak-anak di lingkungan provinsi yang ia pimpin memiliki fisik yang sehat, kan katanya Dalam Tubuh yang Sehat, Terdapat Jiwa yang Kuat. Gubernur juga mungkin ingin memastikan, anak-anak Kepri mendapatkan hak imunisasi seperti yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai orang nomor satu di Provinsi Kepri, Sani pasti sudah memikirkan secara matang terkait surat edaran tersebut. Mungkin juga melakukan kajian dengan bagian-bagian terkait.
Namun selaku orangtua calon siswa SD (beberapa tahun kedepan), saya hanya bertanya mengapa harus sampai melampirkan surat imunisasi dasar sebagai syarat menjadi siswa berseragam putih merah? Bila surat tersebut hilang, haruskah siswa terpaksa tidak bersekolah? Padahal pemerintah mewajibkan anak Indonesia mengecap pendidikan 12 tahun.
Pada link yang saya tautkan disebutkan bahwa bagi yang surat imunisasinya hilang dapat meminta kembali ke instansi/tempat dimana anak kita diimunisasi. Namun setelah bertahun-tahun, masih ingatkah mereka? Masih adakah data-data dari anak kita? Rumah sakit tempat anak saya diimunisasi saja sepertinya sudah beralih kepemilikan. Saya bahkan curiga rumah sakit itu beralih menjadi deretan ruko. Bila sulit mendapatkan surat keterangan imunisasi, bukankah malah berpotensi pungli baru pada saat pendaftaran sekolah?
Menurut saya, tanpa ada keharusan melampirkan surat imunisasi sebagai syarat pendaftaran di SD pun, orangtua yang berniat memberi imunisasi dasar kepada anak akan melakukan cara apapun agar anak mereka mendapatkan imunisasi. Sebaliknya, bila orangtua tidak berniat juga akan mengungkapkan beragam alasan untuk pembenaran. Beberapa rekan yang sesama orangtua memang ada satu dua yang memilih tidak melakukan imunisasi kepada sang anak. Saya tidak mau berkomentar banyak, biarlah itu menjadi tanggung jawab masing-masing.
Menurut pendapat saya pribadi, masih ada banyak cara lain untuk memastikan anak-anak Kepri tumbuh dengan baik dan mendapatkan imunisasi sesuai dengan keharusan yang ditetapkan, misalkan dengan menambah posyandu di berbagai perumahan-perumahan sehingga warga lebih dekat untuk membawa anaknya diimunisasi.
Bisa juga dengan mengadakan imunisasi secara serentak dan memberi kebijakan kepada para ibu bekerja dengan memberikan ijin tidak bekerja setengah hari agar dapat membawa sang anak diimunisasi. Saat ini tidak sedikit ibu bekerja yang mungkin tidak sempat membawa sang anak untuk diimunisasi di posyandu atau puskesmas sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.
Setiap ibu umumnya ingin sang anak mendapatkan imunisasi dasar. Saya sendiri sempat melakukan berbagai upaya agar anak saya mendapatkan imunisasi secara lengkap. Sebagai ibu bekerja saya tidak dapat setiap saat ijin keluar kantor, apalagi saat itu belum ada posyandu di komplek perumahan tempat saya tinggal. Posyandu terdekat ada di kompleks tetangga sehingga saya tidak tahu kapan saja posyandu diadakan di tempat tersebut.
Selain itu, sebagai orang luar kompleks, agak tidak enak juga nantinya “menyusup” ke perumahan orang lain. Apalagi sambil menggendong-gendong batita. Belum lagi kalau pas jadualnya posyandu beroperasi, kalau tiba-tiba saat ke sana kosong tidak ada kegiatan, sia-sia juga datang jauh-jauh ke posyandu tersebut.
Agar anak saya mendapatkan imunisasi, saya biasanya memenfaatkan jasa imunisasi di rumah sakit terdekat dari rumah. Imunisasi BCG sukses dilakukan, begitupula dengan imunisasi Hepatitis B, DPT-HB3, dan Polio. Imunisasi-imunisasi tersebut sukses dilakukan di rumah sakit terdekat dari tempat saya tinggal.
Hanya saja saat akan melakukan imunisasi campak, rumah sakit tersebut mengatakan mereka tidak berkenan memberikan. Saya dan suami disarankan membawa anak ke posyandu untuk mendapatkan imunisasi tersebut. Imunisasi campak katanya agak sedikit berbeda dengan imunisasi yang lain sehingga mereka tidak memiliki tenaga medis dan bahan untuk imunisasi tersebut. Umumnya – kata petugas rumah sakit tersebut – campak harus dilakukan di posyandu atau puskesmas.
Saya dan suami sempat panik, saya sempat meminta mertua untuk menghubungi teman-teman lamanya yang mungkin masih bertugas di puskesmas. Beruntung ada satu teman mertua yang masih dinas di salah satu puskesmas dekat rumah, dan anak saya pun sukses mendapat imunisasi secara lengkap.
Menurut saya mungkin ada baiknya pemerintah lebih giat lagi melakukan edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya imunisasi. Saat saya masih sekolah sering kayaknya melihat iklan-iklan pentingnya memberi imunisasi kepada anak, kalau sekarang iklan-iklan itu pada kemana ya?
Bila orangtua sudah sadar, tanpa harus mensyaratkan seperti itupun, pasti akan membawa sang anak ke posyandu agar mendapatkan imunisasi. Bila hanya sebatas kertas, mungkin hanya akan memenuhi persyaratan saja. Sementara, benar atau tidaknya anak tersebut diimunisasi kita tidak tahu. Ah, Salam Kompasiana! (*)
Kota Batam
Selasa, 26 Januari 2015
Pukul 13:07 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H