Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review Buku How Democracies Die

17 Januari 2025   18:32 Diperbarui: 17 Januari 2025   18:32 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berkembang luas persepsi bahwa demokrasi di abad ke-21 terancam, bahkan menuju kematian-seusai judul buku ini- di seluruh dunia.

Bagaimana demokrasi bisa mati? Apa yang dapat kita lakukan untuk menyelamatkan demokrasi kita sendiri? Pelajaran apa yang diajarkan sejarah kepada kita tentang demokrasi?

Mengingat iklim politik saat ini, kebangkitan global partai-partai ekstremis populis dan nasionalisme sempit, buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, menjelaskan dengan baik untuk menjawabnya. Levitsky dan Ziblatt adalah Profesor Pemerintahan di Universitas Harvard dan telah menghabiskan karier mereka mempelajari demokrasi yang sedang mengalami krisis.

Levitsky dan Ziblatt membuka bukunya dengan suatu adegan peristiwa kudeta klasik yang menjatuhkan pemerintah hasil pemilu demokratis di Chile pada 11 September 1973. Pasukan mililer pimpinan Jenderal Agusto Pinochet melakukan pawai di Ibukota Santiago, kawanan pesawat jet menjatuhkan bom tepat di istana kepresiden La Moneda. Istana terbakar dan Presiden Salvador Allende terbunuh. Inilah yang biasanya terjadi dalam film dan acara televisi yang kita tonton.

Demokrasi telah mati di Chile berganti masa panjang tirani diktator Pinochet. Setelah Chile menyusul kematian demokrasi Argentina, Brasil, Ghana, Pakistan, Peru, Thailand, Turki, dan Yunani dengan cara yang mirip-mirip. Kudeta yang menumbangkan pemerintah dengan kekuatan militer dan pemaksaan. Presiden atau pemimpin resmi dibunuh, dipenjara, atau diasingkan, seperti terakhir yang dialami Presiden Suriah Bashar al-Assaad pada 8 Desember 2024 lalu.

Waktu kemudian mengubah situasi. Sejak berakhirnya Perang Dingin pada akhir 1980-an, sebagian besar kegagalan demokrasi tidak disebabkan oleh para jenderal dan tentara, tetapi oleh pemerintah yang dipilih melalui pemilu.

Para otokrat, bisa jadi mereka yang sejak awal tak berniat jadi tiran dan menjadi pemimpin dari proses yang demokratis. Contohnya Alberto Fujimori, Presiden Peru yang berasal dari sipil, perlahan menjadi pemimpin "tangan besi". Hugo Chaves di Venezuela, kemudian meluas di Georgia, Hungaria, Nikaragua, Peru, Filipina, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina.

Mereka kumpulan pemimpin yang selalu haus kekuasaan, sehingga memilih menempuh segala cara untuk mempertahankan dan memperkokoh tahtanya dengan konsolidasi kekuatan. Satu cara yang pasti ditempuh adalah melemahkan pilar-pilar demokrasi, dengan mengubah konstitusi, mengakali sistem pemilihan umum, dan melumpuhkan lembaga-lembaga politik, agar melemahkan atau memberatkan oposisi, jika memang ada.

Jalan menuju kehancuran elektoral sangatlah menipu. Konstitusi dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya tetap berlaku. Rakyat tetap memilih di bilik suara, surat kabar masih terbit tetapi disuap atau dipaksa melakukan penyensoran sendiri. Warga boleh saja mengkritik pemerintah tetapi sering kali menghadapi masalah pajak atau hukum lainnya.

Para pemimpin demagog mempertahankan kedok demokrasi sambil menghancurkan substansinya. Demagog tidak sadar nilai pemilihan umum berkurang ketika warga tak percaya pemimpin yang mereka pilih. Pers independen adalah benteng lembaga demokrasi, tak ada demokrasi yang bisa hidup tanpanya.

Hal ini menimbulkan kebingungan publik. Orang-orang tidak segera menyadari apa yang sedang terjadi. Banyak yang terus percaya bahwa mereka hidup di bawah demokrasi. Bagi banyak orang, hampir tidak terlihat. Tergerus pelan-pelan dalam langkah-langkah yang nyaris tak kasat mata, melalui "erosi" norma dan lembaga politik secara bertahap.

Penulis juga yakin suatu krisis akan membuka kesempatan pemimpin menjadi tiran. Fujimori memimpin Peru dengan otoriter pada saat krisis, begitu pula Vladimir Putin di Rusia, dan Recep Tayyib Erdogan di Turki juga memanfaatkan krisis untuk bertindak otoriter. Ketiganya tidak seperti Abraham Lincoln, Franklin Rosevelt, dan George W Bush, yang bersikap menahan diri dalam menggunakan wewenang luas yang diberikan menghadapi krisis. Didasari komitmen kuat terhadap konstitusi dan demokrasi.

****

How Democracies Die sejatinya membicarakan Amerika Serikat, yang selalu disebut model ideal pelaksanaan demokrasi. Terbit dua tahun setelah Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika ke-45  pada 2016 silam.

Buku ini terpicu menganalisis sistem demokrasi karena Donald Trump memenuhi empat kriteria seorang otokrat. Makin relevan sekaligus ironis karena  Trump terpilih lagi pada pemilu 2024 dan akan dilantik lagi sebagai Presiden ke-47 pada 20 Januari 2025 awal pekan depan.

Kita tahu bahwa para demagog ekstremis muncul dari waktu ke waktu di semua masyarakat, bahkan di negara-negara demokrasi yang sehat seperti Amerika Serikat. Untuk mengendalikan para otokrat seperti Trump, konstitusi harus dipertahankan dan patuh pada norma-norma demokrasi.

Mengisolasi para ekstremis populer seperti Trump membutuhkan keberanian politik. Namun, ketika ketakutan, oportunisme, atau salah perhitungan menyebabkan partai-partai mapan membawa para ekstremis ke arus utama, di situlah demokrasi terancam.

Demokrasi sedang tidak baik-baik saja, dan yang lebih mengejutkan tidak banyak orang yang mengkhatirkannya. Kita harus mengubah cara pandang kita terhadap dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun