Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review Novel Namaku Alam

2 Juli 2024   21:31 Diperbarui: 2 Juli 2024   22:12 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Leila S Chudori pencerita seru, bahasanya lincah, menyentuh, dan humor cerdas. Ia kembali menerbitkan novel terbaru berjudul Namaku Alam, yang rilis pada akhir 2023.

Leila menyusun novel setebal 450 halaman ini menjadi dua bagian besar, yang ia beri nama Kuning Jingga dan Merah Kesumba, dalam dua bagian diturunkan sebanyak 12 bab.

Namaku Alam ditarik-spin-off (bukan sekuel) dari novel Leila sebelumnya, Pulang (2012), yang berkisah para eksil politik di Paris yang tak bisa pulang ke Indonesia sejak peristiwa 1965. Renacananya akan ada jilid kedua Namaku Alam, sehingga menjadi Tetralogi Leila dalam satu peristiwa: 1965 dan setelahnya.

Jika kita ingat membaca Pulang, Alam adalah anak kandung dari Hananto Prawiro dengan Ratna Surti Anandari, wartawan Berita Nusantara, yang dituduh berafiliasi dengan organisasi terlarang PKI. Hananto ditangkap pada 1968 dari persembunyian selama tiga tahun di Cahaya Foto, Jalan Sabang. Ia kemudian dieksekusi mati tanpa proses peradilan, pada 18 Mei 1970, saat Alam berusia 5 tahun.

Bersama ibu dan dua kakak Bunga Kenanga (dalam novel Yu Kenanga) dan Bening Bulan (Yu Bulan), mereka adalah satu keluarga yang harus senantiasa diawasi dan diancam karena dinilai tidak "bersih lingkungan', mereka marah pada stigma yang absurd. Mereka keluarga yang menghadapi rintangan hidup dalam negara Indonesia yang dipimpin otoritarian Orde Baru.

Selain Alam, tokoh sentral adalah Yu Kenanga dan Yu Bulan. Mereka tumbuh dari bocah, remaja, dewasa bertemu dengan beberapa orang, dari berbagai latar belakang, ideologi, dan prinsip.

Alam, contohnya, tidak pernah bisa cocok dengan Irwan, sepupunya, karena pola pikir dan pola sikap yang sangat berbeda. Justru dengan Bimo Nugroho, yang juga anak kawan ayahnya ia menemukan sahabat sejati, begitu dekat hati dan pemikirannya.

Mereka berdua membaca, mendiskusikan, dan memperlakukan buku sebagai bagian hidup. Menulis sebagai belajar menahan diri dan menghadang kemarahan. Alam dan Bimo mengadu layangan, gemar bermain catur, dan tak suka permainan monopoli yang kapitalis dan membuat orang menjadi serakah.

Jika Bimo seorang pelukis sketsa berbakat, Alam adalah tipe manusia yang punya photograpic memory, yakni kemampuan menyerap, mengingat, dan menjelaskan setiap kalimat yang dibaca, setiap visual, foto, gambar, yang pernah dilihat dan dialami. Baik atau buruk, senang atau sedih. Entah ini bakat atau kutukan, Alam semacam ensiklopedia berjalan.

Kemudian mereka bertemu dengan orang-orang dengan karakter-karakter yang kuat dalam perjalanan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun