Manchester City seperti menjalani deja vu di pertandingan terakhir Liga Inggris musim 2011/2012 dan Liga Inggris 2021/2022 yang baru selesai akhir pekan ini.
Sepuluh tahun lalu, saya mendukung Manchester City yang dilatih Roberto Mancini daripada memfavoritkan Manchester United merengkuh gelar ke-20 Liga Inggris di bawah manager legendaris Sir Alex Ferguson.
Memenangkan Liga Inggris 2012 untuk pertama setelah 44 tahun mengubah banyak hal dari klub The Citizens.
                                                    ****
Cara Manchester City melakukan tidak bisa dilupakan. Bukan sekali tapi dua kali, dan tidak ada yang melakukan momen paling dramatis seperti mereka saat menjalani pertandingan terakhir kompetisi Liga Inggris.
Pada Mingu 22 Mei 2022 akan tercatat sebagai hari besar bagi Manchester City dan sepak bola Inggris.Â
Liga Premier Inggris memainkan sepuluh pertandingan penutup yang dilakukan secara serentak. Pertandingan terakhir selalu spesial dan tak mudah dijalani. Tekanannya sangat tinggi yang bisa membuat segala rencana dan keunggulan teknis berantakan.
Dua laga yang menyita perhatian adalah Manchester City bertemu Aston Villa di Etihad Stadium, dan duel Liverpool melawan Wolverhampton Wanderers di Anfield Stadium.
Semua momen yang terjadi di Etihad dan di Anfield dikoneksikan dengan runtut. Benar saja, beban wajib menang yang sangat berat membuat penampilan City dan Liverpool menjadi canggung, sulit melepas kegugupan dan mungkin juga dilanda keletihan menjalani musim yang padat menguras fisik dan mental.
Baru tiga menit dimulai, Liverpool sudah tertingal, namun tak lama menyamakan skor di pertengahan babak pertama melalui kerja sama apik Thiago Alcantara dan Sadio Mane. Sementara di Etihad, City masih kesulitan menembus lini pertahanan Villa yang dilatih Steven Gerrard, legenda hidup Liverpool.
Ketegangan mulai naik saat Villa unggul menjelang istirahat melalui skema serangan balik yang diselesaikan dengan sundulan bek Matty Cash pada menit ke-37. Penampilan City di babak pertama itu merupakan salah satu terburuk di bawah Guardiola.
Hasil yang membisukan Etihad tapi disambut gembira di Anfield. Angin sekarang berada di pasukan Jurgen Klopp. Jika Liverpool mendapatkan satu gol kemenangan dan City tak bisa mencetak dua gol untuk membalikkan kekalahan, maka Jordan Henderson cs yang tampil sebagai juara. Kita menunggu respon di babak kedua yang sangat menentukan.
Babak kedua adalah puncak ketegangan. Sampai pertengahan, skor di Etihad dan Anfield masih bertahan. Kemudian penyerang Philipe Coutinho menggandakan keunggulan Villa di menit ke-69, melalui serangan sederhana, dari tendangan gawang Robin Olsen yang langsung mendapatkan Coutinho dan menyelesaikan dengan tembakan terukur di sudut bawah gawang Ederson.
Manchester City tertinggal 2-0, sementara Liverpool mengepung gawang Wolves di Anfield, berusaha mati-matian untuk mencetak gol yang akan memberi mereka keunggulan dan membawa mereka ke puncak klasemen dengan waktu pertandingan kurang dari 20 menit. Sejumlah fans City mulai meninggalkan tribun, mereka pasrah dan mulai menyerah.
Pertandingan di Etihad lebih cepat satu menit daripada Anfield. Liverpool punya momentum, diyakini akan mendapatkan satu gol kemenangan, saat City harus menciptakan tiga. Waktu terus mengejar, telapak tangan berkeringat, jantung berdegub keras. Begitu dekat dengan kejayaan dan kemudian begitu dekat dengan kehancuran, baik dirasakan City maupun Liverpool.
Namun begitulah sepak bola, acap menciptakan keajaiban yang sulit dipercaya. Sebelum Mohammed Salah mencetak gol pada menit ke-84, City justru sudah melakukan hal yang sulit dibayangkan dengan logika biasa.
Ilkay Gundogan, pemain senior asal Jerman memicu serangan gencar yang menghasilkan tiga gol dalam lima menit dan mengubah suasana gempita di Etihad. Ia menyundul bola masuk di tiang belakang dari umpan lob Raheem Sterling pada menit ke-76, delapan menit setelah Gundogan masuk mengganti Bernardo Silva. Gol yang mengubah cepat alur pertandingan.
Dua menit kemudian, jangkar Rodry menyelesaikan dengan baik umpan matang Olexander Zhinchenko dari sisi kanan pertahanan Villa. Rodry menyontek bola ke sudut bawah gawang yang tak bisa dijangkau Olsen. Skor 2-2 membuat City butuh satu gol lagi. Yang pasti mereka kembali ke permainan dan pertarungan.
Aston Villa belum sempat bernapas dengan dua gol cepat, City semakin tidak terbendung. Pada Menit ke-81 melalui serangan cepat, playmaker Kevin De Bruyne tiba-tiba melesat mendapatkan bola rebound di kotak pinalti dan mengumpan dengan sangat presisi ke tiang jauh untuk menemukan Gundogan. Skor pun menjadi 3-2 untuk keunggulan City.
Menciptakan tiga gol beruntun dalam waktu kurang enam menit menjadi bukti ketangguhan mereka saat sangat membutuhkannya. Momen dahsyat mengubah atmosfer mencekam menjadi euforia di Etihad.
Sebaliknya Liverpool melewatkan momen mereka, suasana di dalam Anfield berubah dari euforia menjadi hening, termasuk saat Salah dan Andrew Robertson memastikan kemenangan 3-1 atas Wolves. Mereka pun berandai-andai jika Salah mencetak gol sebelum comeback City, bisakah itu mengubah hasil? Tidak ada yang tahu.
Perebutan gelar yang mendebarkan mendapat kesimpulan dan City kembali menjadi juara, mengalahkan Liverpool dengan satu poin, seperti yang terjadi pada 2019.
Guardiola terlihat berkaca-kaca sepanjang merayakan pesta kemenangan. Apa yang telah dicapai oleh Guardiola dan pasukannya memang luar biasa. Mereka juara empat kali dalam rentang enam tahun bertarung di liga paling keras persaingannya.
Seperti yang sudah Guardiola lakukan di Barcelona (2008-2012) dan di Bayern Munchen (2013-2016), Guardiola merevolusi Manchester City secara fundamental. Ia tidak hanya memenangkan trofi demi trofi, namun sudah menanamkan warisan berharga berupa identitas, nilai, dan filosofi sepak bola yang jelas bagi City.
Di mana pun Guardiola melatih ia sudah menetapkan standar yang sangat tinggi bagi para rivalnya. Dan itu baik bagi kompetisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H