Pada pertengahan Juli 1997, kami sekeluarga memasuki rumah baru. Syukur Alhamdulillah.
Saya pernah bertanya pada ibu mengapa mesti pindah rumah yang jaraknya hanya sekitar 100 meter ke arah utara rumah kami sebelumnya? Mengapa tidak seperti kebanyakan keluarga teman-teman, ketika pindahan tempat tinggal biasanya ke lingkungan yang sama sekali baru, jauh, dan butuh proses adaptasi dengan suasana baru dan penduduk baru di sekitarnya.
Jujur saja sebenarnya saya senang saja, karena meskipun pindah rumah, saya tetap tidak "kehilangan" masa kecil yang penuh nostalgia. Saya tetap menetap di kawasan yang sama tanpa proses adaptasi lagi; saya tetap bertetangga dengan orang-orang yang sama; saya dapat tiap saat datang ke tanah lapang yang merupakan salah satu ruang bersosialisasi para penghuni kompleks.
Tanah lapang itu yang dulu begitu luas ketika masa kanak-kanak bermain dan berlari, kini menjadi begitu sempit dan terbatas. Tanah lapang itu pula menjadi saksi sejarah peradaban warga kami yang menyimpan banyak peristiwa dan cerita.
Namun ibu menjawab pertanyaan saya bahwa memang sejak lama niatnya memiliki rumah yang berdekatan dengan masjid sehingga ibu tidak perlu terlalu jauh untuk berjalan untuk ibadah di masjid. Selain itu masih kata ibu, jika rumah berdekatan dengan masjid biasanya akan mendatangkan berkah dan dijauhi dari angkuhnya kehidupan dunia.
Jadi kesimpulan saya bukan suatu kebetulan jika rumah yang kami tempati sekarang tepat berdiri di sisi selatan Masjid Nurul Kautsar Balang Boddong, Makassar. Balang Boddong merupakan salah satu kawasan tua kota Makassar, dulu Ujung Pandang.
Namun sayang saya tak bisa menikmati rumah baru kami tersebut. Saat saya baru dua malam tidur di rumah yang masih belum hilang dari bau cat dan pelitur tersebut, saya mesti meninggalkan Makassar karena saya pindah sekolah ke Jogja. SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta nama sekolah baru saya, yang berlokasi di Kota Gede, juga kawasan sejarah budaya dan kerajaan Mataram.
Praktis, selama 10 tahun berjalan, saya hanya bisa menikmati kehangatan keluarga di rumah itu tiap masa lebaran ketika saya mudik. Selama itu pula saya belum diberi kamar, dan harus menumpang tidur di kamar adik.
Baru setelah tahun 2008, setelah meninggalkan Jogja, kota saya menghabiskan masa remaja dan sebagian masa muda, saya kembali ke Makassar, saya kembali ke rumah ibu untuk menjalani kehidupan yang baru lagi.
Saya telah bekerja kantoran dan sungguh luar biasa bersyukur ketika momen saya bisa lepas dari tanggung jawab finansial dari orangtua. Paling tidak saya mengalami satu kemajuan, melangkah dan menatap ke depan.
Empat tahun saya menetap kembali di rumah tersebut sampai kembali meninggalkan setelah saya menikah dan membangun rumah tangga pada 19 Mei 2012. Selama itu saya betul-betul menikmatinya.
Mungkin benar, saya merasa tipe orang homesick. Selalu ingin pulang cepat jika tak ada kepentingan dan kewajiban lagi di luar. Saya paham betul karena selama 10 tahun menetap di Jogja, nyaris tidak pernah saya menginap di kos teman-teman, padahal nginap-menginap antar anak kos adalah sesuatu yang selalu terjadi, sama persis persoalan pinjam-meminjam uang pada akhir bulan. Saya tidak pernah merasa benar-benar tenang dan nyaman jika tidur bukan di kamar sendiri.
Demikanlah, saya percaya bahwa rumah bukan sekadar bangunan fisik semata. Bukan sekadar tempat berteduh dari hujan dan tempat berlindung dari terik matahari. Namun rumah lebih bernilai secara emosional dan psikologis, menyatukan segala raga jiwa dengan segala hal yang ada di dalamnya.Â
Rumah bagi saya tempat menjadi diri sendiri, mengisi energi jiwa, sekaligus melepas kepenatan yang tergerus sepanjang berada di luar.
Dengan segala kehangatan dan yang saya dapatkan di rumah, saya tahu bahwa saya dapat merasa menemukan kebahagiaan yang hakiki, membuat hidup punya makna yang lebih besar dari apapun di luar sana.
Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H