Empat tahun saya menetap kembali di rumah tersebut sampai kembali meninggalkan setelah saya menikah dan membangun rumah tangga pada 19 Mei 2012. Selama itu saya betul-betul menikmatinya.
Mungkin benar, saya merasa tipe orang homesick. Selalu ingin pulang cepat jika tak ada kepentingan dan kewajiban lagi di luar. Saya paham betul karena selama 10 tahun menetap di Jogja, nyaris tidak pernah saya menginap di kos teman-teman, padahal nginap-menginap antar anak kos adalah sesuatu yang selalu terjadi, sama persis persoalan pinjam-meminjam uang pada akhir bulan. Saya tidak pernah merasa benar-benar tenang dan nyaman jika tidur bukan di kamar sendiri.
Demikanlah, saya percaya bahwa rumah bukan sekadar bangunan fisik semata. Bukan sekadar tempat berteduh dari hujan dan tempat berlindung dari terik matahari. Namun rumah lebih bernilai secara emosional dan psikologis, menyatukan segala raga jiwa dengan segala hal yang ada di dalamnya.Â
Rumah bagi saya tempat menjadi diri sendiri, mengisi energi jiwa, sekaligus melepas kepenatan yang tergerus sepanjang berada di luar.
Dengan segala kehangatan dan yang saya dapatkan di rumah, saya tahu bahwa saya dapat merasa menemukan kebahagiaan yang hakiki, membuat hidup punya makna yang lebih besar dari apapun di luar sana.
Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H