Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mitos Adu Penalti Piala Eropa

9 Juli 2021   21:55 Diperbarui: 9 Juli 2021   22:08 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal-awal suka sepak bola, saya senang sekali jika pertandingan sepak bola harus diselesaikan melalui adu pinalti. Seru, menegangkan, dan jantung rasanya mau copot.

Barangkali semifinal Piala Eropa 1992, antara Belanda versus Denmark, merupakan pertama kali saya merasakan tegangnya proses adu penaiti di pertandingan yang sangat penting.

Ketika itu Belanda sangat diunggulkan, ternyata ditahan imbang 2-2 oleh tim "dinamit" Denmark, sehingga harus dilaksanakan adu penalti. Striker utama Belanda, sekaligus pesepakbola terbaik dunia, Marco van Basten, harus menjadi pesakitan. Tendangan 'angsa putih" diblok oleh kiper Denmark, Peter Schmeichel. Denmark ke final dan menjadi Juara Eropa setelah mengalahkan Jerman.

Momen ini yang meyakinkan saya, bahwa Peter Schmeichel merupakan kiper terbaik dunia. Apalagi setelah melihat betapa berpengaruh peran Schemeichel dari bagian dominasi Manchester United di Liga Inggris setelah musim 1993. Biarpun kiper-kiper sebelum dan sesudah era Schmeichel juga dianggap terhebat, seperti Dino Zoff, Lev Yashin, Gordon Strachan, Gianluigi Buffon, Iker Cassilas, Manuel Neuer, dan sebagainya. Bagi saya, tak ada setangguh Schmeichel di bawah mistar gawang.

Sejak saat itu saya dapat mengingat hampir setiap turnamen besar seperti Piala Dunia dan Piala Eropa, pasti ada pertandingan di babak gugur, pemenangnya harus ditentukan melalui adu penalti.

Ada beberapa masih membekas. Kesatu, final Piala Dunia 1994 antara Brasil dan Italia, yang dimenangkan Brasil, karena tiga algojo Italia gagal menunaikan tugasnya, termasuk bintang utama "Gli Azzuri", Roberto Baggio. Publik pun lebih mengenang Baggio-The Divine Ponytail- dengan satu tendangan penalti yang gagal dibandingkan deretan prestasi hebatnya sebelum sepakan melambung di Pasadena, Los Angeles.

Kedua, adu pinalti semifinal Piala Eropa 1996, antara Inggris melawan Jerman, juga masih terkenang. Inggris yang tampil apik sepanjang turnamen, berstatus tuan rumah, akhirnya tumbang karena Gareth Southgate, yang kini manajer Inggris, gagal menaklukkan Andreas Kopke, kiper Jerman dari jarak 11 meter. Airmata Southgate jatuh di Stadion Wembley klasik, mengingatkan air mata Paul Gascoingne, di Turin 1990, di hadapan musuh yang sama.

Ketiga, semifinal Euro 2000 saat tuan rumah Belanda tumbang oleh Italia melalui adu pinalti, juga yang paling tragis. Bayangkan saja, Belanda harusnya bisa memenangkan pertandingan tanpa adu tos-tos, karena di waktu normal, "pasukan Oranye" punya dua hadiah penalti dan puluhan peluang menciptakan gol, namun semuanya tak mau masuk ke gawang Francesco Toldo, kiper Italia.

Saat adu pinalti, tiga pemain Belanda pun gagal dari titik pinalti. Satu diantaranya adalah sepakan bek Jaap Stam yang melambung sangat tinggi di atas mistar gawang. Itu mungkin tendangan penalti paling kacau yang pernah saya saksikan. Sedangkan pemain Italia, Francesco Totti melakukan sepakan penalti berkelas, gaya Panenka, mencip bola ke tengah gawang mengecoh kiper Van der Sar.

****

Setelah babak semifinal Piala Eropa 2020 selesai, sudah ada tiga pertandingan yang harus diselesaikan melalui adu pinalti, dan tiga tersebut terjadi pada masing-masing fase (16 besar, perempat final, dan semifinal).

Dari pernyataan Martin Tyler, footbal commentator legendaris Inggris pada saat pertandingan semifinal Spanyol melawan Italia, saya mendapat konfirmasi bahwa tak ada satu negara bisa memenangkan dua kali adu pinalti pada satu piala Eropa yang sama. 

Kita sudah melihat buktinya. Swiss menang melawan Perancis di babak 16 besar, namun kalah melawan Spanyol di perempat final. Melangkah ke babak semifinal giliran Spanyol yang harus merasakan kekejaman adu pinalti, sebagaimana yang dirasakan Swiss, karena Alvaro Moratta cs kalah melawan Italia dengan cara yang sama.

Kalau di Piala Dunia pernah terjadi pada Piala Dunia 1990, saat Argentina menang atas Yugolavia di babak perempat final dan Italia di babak semifinal. Terakhir pada Piala Dunia 2018, "The Vatreni' Kroasia bisa menang dua kali, masing-masing atas Denmark pada babak 16 besar dan kemudian menyingkirkan tuan rumah Russia di babak perempat final. 

****

Satu hal bahwa adu pinalti jelas tidak menggambarkan potensi sebuah tim sesungguhnya. Banyak yang bilang kalah adu pinalti ibarat kalah lotre, tidak mendapat keberuntungan pada hari tersebut. Apes, sial, naas, celaka, atau apapun istilahnya. 

Tapi asumsi bahwa adu pinalti ibarat lotre, bisa dengan mudah dipatahkan dengan beberapa bukti. 

Mengapa Jerman empat kali duel adu penalti bisa menang terus? Nasib baikkah? lalu Brasil menang empat kali dari lima kesempatan. Atau jika memang lotre yang sewaktu-waktu bisa berpihak pada hari baik, mengapa tim Inggris baru dua kali ibernasib mujur? tiga kali adu penalti sebelumnya, tiga kali kalah. Italia, Spanyol, dan Belanda, mungkin sedikit lebih baik dari Inggris, tetapi rekornya juga jelek, lebih banyak kalahnya.

Dengan begitu, adu pinalti bukanlah sekadar menggantungkan pada nasib baik saja. Perlu kesiapan, keberanian, dan ketangguhan mental.

Sepak bola zaman dulu barangkali menilai adu penalti hanya ditentukan faktor mental saja, sehingga tak masuk agenda latihan. Bagi mayoritas pelatih, tendangan pinalti bukan sekadar persoalan teknis yang bisa dibereskan melalui latihan terus menerus. Tidak peduli seberapa banyak latihan pinalti dilakukan, pemain tetap tidak bisa merancang bagaimana sebuah tendangan penalti yang sempurna.

Namun sepak bola modern sekarang ini harus terbiasa menerima adu pinalti sebagai rencana, bagian dari strategi. 

Probabilitas adu penalti semakin besar. Dalam pertandingan yang kian menentukan, semua tim bermain hati-hati dan bertahan habis-habisan yang dianggap lebih sedikit resikonya daripada kecolongan di extra time. Oleh karena itu, beberapa pelatih memberikan waktu khusus berlatih tembakan pinalti. Bahkan merasa perlu dukungan data statistik dan hukum fisika dari ahli.

Berdasarkan beberapa riset, tendangan pinalti yang sempurna adalah pada titik pojok atas kanan atau kiri gawang. Di sisi itu, mustahil diantisipasi kiper. Namun persoalannya, tak banyak eksekutor yang berani mengincar titik akurat itu. Harus memperhatikan arah angin, rotasi serta kecepatan bola, dan harus membuat kalkulasi cepat di otaknya. Sedikit saja salah, bola pasti melenceng dari target.

Sekali lagi menunaikan pinalti bukanlah hal yang mudah. Semua pemain terbaik dunia pernah gagal menjalankan misi. Diego Maradona di Italia 1990, Van Basten di Swedia 1992, Baggio di AS 1994, adalah contoh.

Di Piala Eropa 2020, kita sudah saksikan kandidat peraih Ballon D'Or Kylan Mbabbe dan penyerang Spanyol Alvaro Moratta juga tak berhasil dari titik putih tersebut. 

Demikianlah, tugas sebagai algojo sangat menekan urat syaraf, kekuatan mental di atas segala-galanya jika urusan pinalti. Hanya untuk para pemberani.

Salam Euro.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun