Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ini 2 Laga Legendaris Semifinal Piala Eropa

6 Juli 2021   14:15 Diperbarui: 9 Juli 2021   10:15 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo UEFA.(Dok. UEFA via kompas.com)

Segera kita akan menyaksikan pertandingan semifinal Piala Eropa 2020. Sembari menunggu, pada kesempatan ini saya ingin mengenang dua pertandingan semifinal Piala Eropa legendaris dengan drama sepak bola yang begitu kuat.

****

Masa kanak-kana pada akhir 1980-an, buku-buku sekolah saya banyak bersampul pesepak bola Belanda, Marco Van Basten dan Ruud Gullit. Waktu itu pasukan "Oranye" yang mengusung "total voetball" kreasi Rinus Michel baru saja memenangkan Piala Eropa 1988 di Jerman Barat.

Empat tahun kemudian Belanda yang difavoritkan mempertahankan trofi "Hendry Delauney", justru secara mengejutkan dijungkalkan  oleh "anak bawang" Denmark di semifinal melalui drama adu pinalti. 

Tembakan protagonista Van Basten diblok oleh Peter Schmeichel. Denmark lantas menjuarai Piala Eropa 1992 setelah "meledakkan" tim "panser" Jerman di final dengan skor, 2-0, di Stadion Ullevi, Gothenburg.

Piala Eropa 1988 dan 1992 adalah awal perjalanan saya menjadi penggemar bola. Tapi sesungguhnya saya belum mengikuti secara intens kedua turnamen tersebut. Belum bisa begadang untuk menonton laga demi laga siaran langsung di TVRI ketika itu. Masih samar-samar.

Baru pada edisi ke-10, Piala Eropa  Inggris 1996, saya benar-benar mulai dilanda demam bola. Sudah seperempat abad berlalu, tapi masih banyak momen-momen spektakuler yang bisa saya ingat dari Euro 1996.

Barangkali karena alasan personal tersebut, sampai sekarang saya mengklaim Euro 1996 merupakan turnamen terbaik yang pernah saya nonton, jika diukur dari tim-tim peserta, kualitas pertandingan, dan juga aspek penyelenggaraan yang euforia dengan fanatisme holigans tuan rumah Inggris yang luar biasa meriah. Pure football.

Waktu terus berjalan, Piala Eropa 2020 merupakan turnamen ke-7 yang membuat saya menjelma 'gila bola' mengikuti tahap demi tahap turnamen ini. Ratusan pertandingan sudah saya tonton, mulai dari Inggris versus Swiss di Stadion Wembley pada laga pembuka 1996, hingga laga puncak saat Portugal mengubur impian tuan rumah Perancis, di Stade de Franc pada final 2016.

Total sudah 12 pertandingan semifinal Euro yang saya saksikan dengan penuh semangat. Dari duel Republik Ceko mengalahkan Perancis di Old Trafford 1996, hingga laga semifinal 2016 saat Perancis menyingkirkan Jerman di Stade Velodrome, Marseille.

Bagi saya pribadi sebagai penikmat sepak bola, ada dua pertandingan yang paling berkesan yang masih begitu kuat menancap jika saya mengingat tentang Piala Eropa. Dua match legendaris dengan sarat sejarah, menjadi ikon Euro.

Dua laga itu yakni, pertama, Inggris melawan Jerman pada 1996, dan  kedua adalah duel Belanda berhadapan dengan Italia pada Euro-2000. Izinkan saya menuliskan kenangan tersebut di forum ini.

1. Jerman versus Inggris, 29 Juni 1996, Stadion Wembley, London.

sumber: theguardian.com
sumber: theguardian.com
Inggris berhasil maju ke semifinal melalui rangkaian kemenangan yang spektakuler dengan kerja sama yang tergorganisasi kuat. Tony Adams cs menang menyakinkan atas Skotlandia 2-0, dan menghancurkan total football Belanda, 4-1, dengan menampilkan gaya khas Inggris yang kondang, "Kick and Rush". 

Tim "Three Lions" ditukangi Terry Venables dengan kumpulan pemain terbaiknya. David Seaman, Tony Adams, Stuart Pearce, duo Paul (Ince dan Gascoigne), dan duet bomber yang terkenal dengan akronim SAS (Alan Shearer dan Teddy Sheringham).

Drama itu terjadi di babak semifinal melawan musuh besar, Jerman. Di Stadion klasik Wembley, diwasiti Sandor Puhl, duel ini mengulang memori final Piala Dunia 1966, saat Inggris pertama kali, sekaligus terakhir kali menjadi juara dunia. 

Laga ini juga mengulang semifinal Piala Dunia 1990, di mana Inggris bercucuran air mata setelah gagal lewat adu pinalti di Turin.

Malam yang sarat beban bagi pemain Inggris, mereka harus melakukan revans terhadap Jerman, sekaligus memulihkan kembali kejayaan Inggris di masa lalu. Tiga puluh tahun lamanya hidup tanpa gelar apa-apa sungguh membuat Inggris menderita.

Inggris langsung unggul pada menit ke-3 saat Alan Shearer mengkop bola hasil tendangan sudut Paul Gascoigne. 80 ribu penonton yang mayoritas suporter tuan rumah, termasuk Ratu Elizabeth II, mengira Inggris akan relatif mudah mengalahkan Jerman kali ini.

Namun mereka lupa bahwa Jerman adalah pasukan pembunuh bayaran yang kejam. Stefan Kunzt dengan cepat membuyarkan kegembiraan tuan rumah pada menit ke-16. 

Setelah itu kedua kesebeasan saling mengunci hingga waktu normal selesai. Pada waktu tambahan Inggris menggempur pertahanan Jerman yang dikomandani Mattias Sammmer. 

Paul Gazza nyaris mencetak golden goal pertama di pengujung waktu, bola yang bergulir di mulut gawang Andreas Koepke tak mampu diteruskan Gazza yang hanya berjarak sepersekian detik dari laju bola. 

Lagi-lagi mengulang drama di Turin 1990, Inggris kembali takluk melalui adu pinalti. Dari seluruh 12 eksekutor dari kedua tim, hanya tembakan pelan algojo Southgate yang gagal bersarang. Inggris dipastikan kalah 5-6 setelah Andreas Moller menaklukkan David Seaman. 

Selesai sudah semuanya. Impian 'football's coming home" itu dikandaskan kembali oleh kaki-kaki pesepak bola Jerman yang dibintangi Andreas Kopke, Mattias Sammer, Thomas Helmer, di bawah pelatih dingin berwajah pucat, Berti Vogts.

Sementara publik Inggris terutama Southgate larut dalam kesedihan mendalam. Ia menangis digandeng kapten Tony Adams. 

Southgate merasa dia telah meruntuhkan seluruh impian negaranya. Southgate disematkan ikon kegagalan adu pinalti Inggris. Sebagaimana jika publik sepak bola mengingat pemain Italia Roberto Baggio yang tendangan penaltinya melambung tinggi di final Piala Dunia 1994.

Bagi saya, ini kekalahan paling menyakitkan bagi Inggris daripada banyak kekalahan Inggris di berbagai turnamen besar.

2. Italia vs Belanda, 29 Juni 2000, Stade Amsterdam Arena, Amsterdam.

(https://www.theguardian.com/football/live/2020/mar/24/england-v-germany-euro-96-semi-final-live)
(https://www.theguardian.com/football/live/2020/mar/24/england-v-germany-euro-96-semi-final-live)
Belanda ditantang Italia untuk memperebutkan satu tiket final Piala Eropa. Belanda sebagai tuan rumah maju ke semifinal dengan meraih empat kemenangan secara meyakinkan, termasuk menhancurkan Yugoslavia 6-1 di babak perempat final. Sedangkan Italia ke semifinal berkat aksi yang sebenarnya biasa-biasa saja. Italia kali ini sama sekali tidak diunggulkan dan diprediksi bakal angkat koper besok pagi.

Pada menit ke-20, Italia sudah harus bermain dengan 10 pemain melawan Belanda yang didukung 50.000 suporter yang "mengoranyekan" Amsterdam Arena. 

Waktu 90 menit waktu normal, Belanda melalui De Boer brother, Philip Cocu, Edgar Davids, Dennis Berkamp, dan Patrick Kluivert, menggempur habis-habisan gerendel Italia yang dikomando Paolo Maldini. Saya juga heran tak satupun bola yang berkenan masuk ke gawang Italia yang dikawal Francesco Toldo.

Extra-time saya kira cukup menamatkan perlawanan Italia. Dan ternyata lagi-lagi salah, meski terus mengepung dan kembali mendapatkan hadiah tendangan penalti, jala Italia tetap tak terkoyak. Frank Rijkard, pelatih Belanda, sampai berkata ada malaikat kecil yang menjaga gawang Toldo.

Dan akhirnya inilah hukuman buat Belanda. Mereka kalah secara tragis melalui adu pinalti yang memang sangat dinantikan oleh kubu "Gli Azzury". Dari empat algojo Belanda hanya sontekan Kluivert yang menembus gawang Toldo, bahkan tendangan Japp Stam melambung tinggi jauh keluar stadion. 

Ada yang berkomentar bola tersebut sampai ke Rotterdam, tempat partai final Piala Eropa 2000 akan digelar. Sedangkan kita masih ingat tendangan penalti Totti menchip gaya Panenka menipu Edwin Van Der Saar menjadi inspirasi. Master class.

Di balik ketidak beruntungan Belanda, kita disajikan salah satu pertujukan seni bertahan terbaik Italia yang pernah saya saksikan. Italia mendapat tiket final berhadapan dengan Perancis.

Demikianlah dua pertandingan bersejarah tersebut yang masih bisa saya kenang. Barangkali karena itu saya masih menanggap Piala Eropa 1996 dan 2000 merupakan turnamen favorit saya hingga saat ini.

Salam Euro.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun