Nurdin harus bertarung menghadapi rival yang kuat dan berpengalaman. Dari empat calon gubernur, hanya Nurdin yang bukan berasal dari kalangan politisi tulen. Ia berhadapan dengan politisi senior Golkar Nurdin Halid; Wakil Gubernur inkumben Agus Arifin Nu'mang yang diusung Partai Gerindra; dan Ichsan Yasin Limpo politisi kuat yang juga Bupati Gowa sekaligus adik dari Gubernur dua periode Syahrul Yasin Limpo.
Barangkali justru karena Nurdin merupakan calon yang dari latar belakang berbeda dan rekam jejaknya di Bantaeng, ia berhasil memenangkan kursi Gubernur Sulawesi Selatan. Nurdin naik kelas dan Nurdin pun pindah dari Bantaeng ke ibukota Makassar menjadi pemimpin bagi 24 kabupaten/kota dengan jumlah populasi sekitar 8 juta jiwa. Sebagai bandingan Bantaeng hanya daerah kecil dengan jumlah penduduk tak lebih 250 ribu jiwa.
Faktanya, Sulawesi Selatan sama sekali tak sama dengan Bantaeng yang adem dan tenang. Di Sulawesi Selatan kepemimpinan Nurdin tak berhenti diganggu oleh banyak kepentingan. Dari politisi, birokrat senior, hingga pengusaha sponsor.
Pada awal menjadi gubernur, DPRD Sulsel menggulirkan hak angket terhadapnya. Nurdin juga berpolemik dengan wakilnya Andi Sudirman saat kisruh pelantikan 193 pejabat di lingkup provinsi. Belum lagi perseteruan politik karena Nurdin dengan 'mudah' memilih tiga Plt Walikota Makassar (Iqbal Suhaeb, Yusran Jusuf, Rudi Djamaluddin) sepanjang 20 bulan kevakuman Walikota Makassar.
Sangat kentara, Nurdin menghadapi iklim politik dan bisnis yang koruptis di Sulawesi Selatan. Konsep yang ingin ia adopsi dari Bantaeng tak bisa mulus, karena ia bukan lagi penguasa mutlak di Sulawesi Selatan. Banyak kepentingan aktor-aktor politik senior dan investor pengusaha yang sudah lama bermain di sana terpaksa harus dikompromikan oleh Nurdin.
Banyak kegaduhan dan hilangnya fokus menunjukkan ada ketidakberesan Nurdin dalam mengelola pemerintahan yang kompleks di Sulawesi Selatan. Penanganan Covid-19 membuka tabir kepemimpinannya yang rentan. Menurut hasil penelitian beberapa lembaga jajak kredibel, Nurdin adalah gubernur terlemah dalam penanganan Covid-19.
Saya pernah dibuat kecewa saat Gubernur Nurdin dipanel dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil diwawancara oleh Kompas TV tentang penanganan Covid-19. Nurdin sama sekali kesulitan menjelaskan dengan baik kepada publik karena tanpa data yang memadai. Misalnya, ia sama sekali tak tahu berapa jumlah tenaga kesehatan dan jumlah rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang disiapkan oleh Provinsi Sulawaesi Selatan. Perbedaan itu terlihat jelas saat Ridwan Kamil menjelaskan dengan sangat meyakinkan, tentu dengan data yang detail, bagaimana sistem penanganan yang dilaksanakan di Jawa Barat.
Saya yang awalnya masih ragu, mulai percaya bahwa Nurdin di Bantaeng dan Nurdin di Sulsel jelas berbeda.
Sampai kemudian pada Minggu dini hari (28/2/2021), di kantor KPK, Nurdin bersama dua rekannya resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pengadaan barang dan jasa dengan penerimaan gratifikasi barang bukti uang suap senilai 2 milyar rupiah. Nurdin memakai rompi oranye dengan tangan terborgol sambil berdiri membelakangi pimpinan KPK, para jurnalis, dan layar TV pemirsa.
Reputasi cemerlang yang ia bangun puluhan tahun runtuh dengan kasus korupsi. Peristiwa Nurdin ini menegaskan lagi ungkapan klasik "Orang bisa berubah, karakter seseorang kian jelas ketika ada kekuasaan di tangannya.
Salam antikorupsi.