Saya masih memikirkan Nurdin Abdullah. Bagaimana ia bisa ditangkap KPK masih terlintas di benak saya, meskipun sudah sepekan berlalu peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang membuat warga Sulawesi Selatan geger atas skandal korupsi Gubernur Sulawesi Selatan yang dinilai sebagai pemimpin antikorupsi.
Malam penangkapan itu terjadi pada Jumat malam (26/3/2021) hingga Sabtu dini hari (27/2/2021). Belum juga 24 jam setelah Gubernur Nurdin melantik dan mengambil sumpah walikota dan bupati sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, termasuk Walikota Makassar, hasil pilkada serentak pada 9 Desember 2020 lalu.
Ini OTT KPK perdana di kota Makassar, dan langsung mencokok orang nomor satu di provinsi terbesar di Indonesia Timur ini. Gubernur Nurdin diamankan di rumah jabatan gubernur Sulawesi Selatan yang sangat megah dan sakral menurut saya, rumah yang sering dijuluki White House of Makassar. Rujab selalu saya kagumi setiap saya melintas jalan Sudirman, Makassar.
****
Saya masih ingat Nurdin Abdullah memulai kiprahnya di dunia politik pada 2008, saat ia mencalonkan menjadi Bupati Bantaeng. Latar belakangnya adalah profesor kehutanan dari Unhas, ia berani menantang calon-calon lain dari politisi yang sudah lama berperan di sana. Hasilnya Nurdin berhasil unggul mendapatkan amanah warga Bantaeng yang barangkali sudah jenuh dengan kepemimpinan yang kental politik dinasti dan birokrasi KKN.
Lima tahun pertama masa bupati, banyak kelompok menilai Nurdin sangat sukses membawa perubahan besar Bantaeng. Ia giat membangun beberapa infrastruktur, jalan-jalan mulus, jembatan dan fasilitas-fasilitas publik yang nyaman, membangun fasilitas kesehatan dan banyak pembangunan yang menarik investasi dari luar, terutama dari Jepang yang sangat diakrabi oleh Nurdin karena menempuh studi magister dan doktoral di Kyusu Jepang.
Dari periode pertama ini nama Nurdin sudah masuk radar pencalonan Gubernur Sulawesi Selatan 2013. Â Namun Nurdin tetap masih bertahan di Bantaeng menyelesaikan masa bakti. Kesuksesan periode pertama membuat Nurdin tak punya penantang berarti saat kembali maju pada periode kedua. Nurdin punya posisi tawar yang sangat kuat bagi nyaris semua partai politik, bahkan ia disebut-sebut tak perlu mengeluarkan dana kampanye pada pilkada Bantaeng 2013. Faktanya Nurdin melenggang mulus dan mendapatkan lebih 90 persen suara. Mungkin salah satu perolehan persentase tertinggi se-Indonesia waktu itu.
Nurdin juga dianggap sukses pada periode kedua (2013-2018). Ia sangat fokus dan tekun memimpin Bantaeng. Barangkali tak ada gangguan berarti baginya memimpin wilayah kecil yang berjarak 200 kilo meter dari kota Makassar. Nurdin leluasa menjalankan pemerintahan dengan tanpa tekanan karena tak ada lagi aktor-aktor politik kuat di sana. Ia bisa menjaga integritasnya. Kalaupun ada relatif ia bisa selesaikan dengan mudah.
Atas kiprah yang luar biasa selama 10 tahun di Bantaeng, Bupati Nurdin banyak diganjar penghargaan dalam bidang tata kelola pemerintahan yang baik, profesional, dan jauh dari kesan KKN. Termasuk penghargaan dari Bung Hatta Anti-corruption Award pada 2017, suatu apresiasi dari lembaga bergengsi tanah air. Bisa dihitung jari kepala daerah yang pernah menerima penghargaan prestise tersebut. Jokowi saat  menjabat Walikota Solo dan Tri Risma ketika Walikota Surabaya contoh sedikit itu.
Namanya mulai digadang-gadang sebagai calon pemimpin nasional, bahkan saya sempat mendengar Nurdin masuk daftar menjadi Calon Wakil Gubernur DKI mendampingi Ahok pada pilgub DKI 2017. Namun Nurdin tampaknya dipersiapkan Megawati Soekarnoputri untuk tetap bertarung di Pilkada Sulawesi Selatan 2018.
Pada Pilkada Sulawesi Selatan 27 Juni 2018, Nurdin Abdullah berpasangan dengan Andi Sudirman Sulaiman, diusung oleh gabungan PDIP, PAN, dan PKS. Partai kelas menengah di Sulawesi Selatan sebenarnya, karena masih kalah jumlah kursi dari Partai Golkar dan Partai Demokrat.
Nurdin harus bertarung menghadapi rival yang kuat dan berpengalaman. Dari empat calon gubernur, hanya Nurdin yang bukan berasal dari kalangan politisi tulen. Ia berhadapan dengan politisi senior Golkar Nurdin Halid; Wakil Gubernur inkumben Agus Arifin Nu'mang yang diusung Partai Gerindra; dan Ichsan Yasin Limpo politisi kuat yang juga Bupati Gowa sekaligus adik dari Gubernur dua periode Syahrul Yasin Limpo.
Barangkali justru karena Nurdin merupakan calon yang dari latar belakang berbeda dan rekam jejaknya di Bantaeng, ia berhasil memenangkan kursi Gubernur Sulawesi Selatan. Nurdin naik kelas dan Nurdin pun pindah dari Bantaeng ke ibukota Makassar menjadi pemimpin bagi 24 kabupaten/kota dengan jumlah populasi sekitar 8 juta jiwa. Sebagai bandingan Bantaeng hanya daerah kecil dengan jumlah penduduk tak lebih 250 ribu jiwa.
Faktanya, Sulawesi Selatan sama sekali tak sama dengan Bantaeng yang adem dan tenang. Di Sulawesi Selatan kepemimpinan Nurdin tak berhenti diganggu oleh banyak kepentingan. Dari politisi, birokrat senior, hingga pengusaha sponsor.
Pada awal menjadi gubernur, DPRD Sulsel menggulirkan hak angket terhadapnya. Nurdin juga berpolemik dengan wakilnya Andi Sudirman saat kisruh pelantikan 193 pejabat di lingkup provinsi. Belum lagi perseteruan politik karena Nurdin dengan 'mudah' memilih tiga Plt Walikota Makassar (Iqbal Suhaeb, Yusran Jusuf, Rudi Djamaluddin) sepanjang 20 bulan kevakuman Walikota Makassar.
Sangat kentara, Nurdin menghadapi iklim politik dan bisnis yang koruptis di Sulawesi Selatan. Konsep yang ingin ia adopsi dari Bantaeng tak bisa mulus, karena ia bukan lagi penguasa mutlak di Sulawesi Selatan. Banyak kepentingan aktor-aktor politik senior dan investor pengusaha yang sudah lama bermain di sana terpaksa harus dikompromikan oleh Nurdin.
Banyak kegaduhan dan hilangnya fokus menunjukkan ada ketidakberesan Nurdin dalam mengelola pemerintahan yang kompleks di Sulawesi Selatan. Penanganan Covid-19 membuka tabir kepemimpinannya yang rentan. Menurut hasil penelitian beberapa lembaga jajak kredibel, Nurdin adalah gubernur terlemah dalam penanganan Covid-19.
Saya pernah dibuat kecewa saat Gubernur Nurdin dipanel dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil diwawancara oleh Kompas TV tentang penanganan Covid-19. Nurdin sama sekali kesulitan menjelaskan dengan baik kepada publik karena tanpa data yang memadai. Misalnya, ia sama sekali tak tahu berapa jumlah tenaga kesehatan dan jumlah rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang disiapkan oleh Provinsi Sulawaesi Selatan. Perbedaan itu terlihat jelas saat Ridwan Kamil menjelaskan dengan sangat meyakinkan, tentu dengan data yang detail, bagaimana sistem penanganan yang dilaksanakan di Jawa Barat.
Saya yang awalnya masih ragu, mulai percaya bahwa Nurdin di Bantaeng dan Nurdin di Sulsel jelas berbeda.
Sampai kemudian pada Minggu dini hari (28/2/2021), di kantor KPK, Nurdin bersama dua rekannya resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pengadaan barang dan jasa dengan penerimaan gratifikasi barang bukti uang suap senilai 2 milyar rupiah. Nurdin memakai rompi oranye dengan tangan terborgol sambil berdiri membelakangi pimpinan KPK, para jurnalis, dan layar TV pemirsa.
Reputasi cemerlang yang ia bangun puluhan tahun runtuh dengan kasus korupsi. Peristiwa Nurdin ini menegaskan lagi ungkapan klasik "Orang bisa berubah, karakter seseorang kian jelas ketika ada kekuasaan di tangannya.
Salam antikorupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H