Sudah 25 tahun berlalu, tapi masih banyak yang bisa saya ingat tentang final Liga Champions yang digelar di Ernst Happel Stadium, Wina, Austria, pada 24 Mei 1995.
Dua tim yang menjadi finalis adalah Ajax Amsterdam (Belanda) dan AC Milan (Italia). Disebut-sebut sebagai final paling menarik perhatian karena perbedaan mencolok soal usia dan pengalaman kedua kubu. Milan yang matang ditantang pasukan anak muda Amsterdam yang membara.
Ajax yang dihuni pemain berusia rata-rata 23, barangkali skuad termuda sepanjang sejarah yang berlaga di final Piala Eropa. Sedangkan AC Milan tampil di final dengan segudang pengalaman kumpulan pemain matang berusia di atas 30. Setahun sebelumnya anak asuh Fabio Capello menghancurkan Barcelona 4-0 di final 1994 yang disebut-sebut penampilan terhebat satu tim di final.
Namun di Wina, Milan tak berkutik oleh anak muda yang kreatif dan sangat cepat. Franco Baresi, Paolo Maldini, Zvonimir Boban, dan Danielle Massaro kehilangan orientasi permainan, sama sekali tak berkembang. Mereka kalah segalanya malam itu.
Ajax dilatih pelatih muda (saat itu), Aloyius Louis Van Gaal, menang 1-0 melaui gol pemain 'anak bawang' Patrick Kluivert pada menit ke-85. Kluivert tampil sebagai pencetak gol penentu dari bangku cadangan menggantikan Jari Litmanen pada menir ke-70.
Gol bersejarah itu dimulai dari pergerakan Marc Overmars mengumpan pada Clarence Seedorf yang kemudian meneruskan bola ke Frank Rijkard-satu dari dua pemain senior Ajax. Rijkard kemudian mengumpan pelan kepada Kluivert di depan kerumunan pemain.
Kunci gol ini adalah kontrol brilian Kluivert, yang membuat bola bergulir menerobos masuk ke kotak penalti Milan melewati penjagaan barisan bek berkelas dunia: Baresi, Costacurta, Paolo Maldini, yang tampaknya sudah letih di pengujung laga. Kluivert yang masih segar tetap kokoh menjaga keseimbangan meski didorong Boban.Â
Dengan insting tajam dan kakinya yang panjang, Kluivert menyodok bola yang kemudian bergulir pelan melewati jangkauan Kiper Sebastiano Rossi. Ia mencetak gol tunggal sebagai pemain pengganti di partai besar melumpuhkan raksasa Eropa, saat berusia 18.
Perjalanan Ajax nyaris sempurna musim itu. Mereka mempertahankan gelar liga Eredivise dengan musim tanpa terkalahkan. Sementara di Eropa penampilan mereka sensasional. Sebelumnya telah mengalahkan Milan dua kali di babak grup, dan menghancurkan Bayern Munchen 5-2 di semifinal.
Ajax beruntung memiliki Rijkard yang pulang dari Milan pada 1993, bersama kapten Danny Blind, ia memimpin dan memandu anak-anak muda Amsterdam bagaimana tampil di final akbar dan berhadapan dengan klub seperti Milan.
Kesuksesan Ajax dinilai pakar bola mengubah wajah sepak bola yang kita saksikan dewasa ini. Ajax menghentikan dominasi AC Milan di Eropa di bawah Manager Fabio Capello-sebelumnya era Arrigho Sachhi. Mengakhiri 10 tahun perjalanan hebat Il Rossonerri sebagai The Dream Team.
Ajax'95 dikenang sebagai kemenangan sepak bola murni, kemenangan sepak bola para idealis. Disebut demikan karena seluruh skuad Ajax'95 merupakan pemain produk binaan dari akademi sepak bola mereka sendiri yang sudah kondang, School van de Toekomst.
Ajax muda diisi pemain penuh kualitas dengan talenta-talenta hebat. Memadukan teknis, fisik, dan atletis bagi sepak bola modern. "Konsep permainan mereka sangat indah dan memiliki keunggulan fisik. Mereka adalah Si Cantik dan Binatang." Kata Jorge Valdano, Pelatih Real Madrid pada 1995, memuji skuad Van Gaal.
Van Gaal melatih Ajax mulai pada 1992, klub kota kelahiran si menir pada 1951. Ia menanamkan filosofi bermain yang khas. Ia jenius, dengan konsep sepak bola yang rapih dan terukur. Ia juga pekerja keras yang menuntut disiplin tinggi, tetapi metodenya meningkatkan level semua pemainnya.
Van Gaal mungkin sosok yang mewakili karakter orang Belanda yang terkenal dengan fungsionalitas, berpenampilan konvensional untuk standar Eropa, sekalipun di abad millennium saat ini. Orang Belanda memang selalu cuek dengan penampilan, tidak penting bagi mereka, niet belanrijk. Mereka hanya antusias dengan sesuatu yang besar dan mencengangkan.
****
Setahun kemudian, Ajax dan Van Gaal tak lagi sanggup membendung industri sepak bola, yang menuntut klub punya uang sebanyak-banyaknya untuk membeli 'pemain jadi' demi kesuksesan memenangkan trofi.Â
Pasukannya memang masih bisa melaju ke final 1996 di Roma, namun Ajax kalah dari kekuatan uang klub Juventus, raksasa Italia selain AC Milan.
Akhir musim tersebut juga merupakan akhir era Ajax-nya Van Gaal. Van Gaal dan anak-anak buahnya menjadi bagian dari industri sepak bola itu. Skuad Ajax'95 menyebar di seluruh klub-klub kaya Eropa terutama di Italia, Inggris, dan Spanyol, menjadi referensi sepak bola berkualitas. Van Gaal juga memulai petualang baru ke Catalunya, menangani klub kaya Barcelona.
Barangkali justru karena itu, Ajax '95 tetap menjadi legenda pada akhir sebuah era. Kemenangan Ajax yang terkenal atas AC Milan akan selalu dikenang sebagai satu final Liga Champions paling mengesankan. Bukan sekadar rekor namun legacy berharga Van Gaal bagi sepak bola yang rasanya tak mungkin bisa direplika oleh klub mana pun. Karya hebatnya telah mengubah wajah sepak bola Eropa.
Bagi saya pribadi, kemenangan sensasional Ajax di Wina juga merupakan momen magis. Itu final Liga Champions pertama yang saya saksikan siaran live.Â
Pengenalan berkesan yang membuka pandangan saya betapa seru dan menariknya kompetisi Liga Champions. Sejak itu tiap tahun saya selalu menantikan malam-malam akbar final Liga Champions.
Salam bola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H