Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Tarian Terakhir Sang Maestro

22 Mei 2020   18:27 Diperbarui: 23 Mei 2020   21:51 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: https://www.imdb.com/title/)

Penayangan sepuluh seri The Last Dance, film dokumenter di saluran digital Netflix mengenai perjalanan karir Michael Jordan membangun dinasti kejayaan Chicago Bulls, mengingatkan lagi saya masa-masa menjadi penggemar bola basket. Masa hegemoni Jordan Cs dapat dibagi menjadi dua babak dengan masing-masing babak mengukir hettrick. Periode emas pertama terjadi pada 1991-1993, sedangkan masa gemilang kedua terukir pada 1996-1998.

Saya belum sempat menyaksikan pada hettrick pertama Jordan dan Bulls, hanya mendengarnya samar-samar dari program televisi yang masih terbatas dan koran cetak yang konvensional. Termasuk saat mega bintang Jordan memutuskan mundur (sabatikal) pada akhir musim 1993. Sesuatu yang membingungkan saya pada masa itu. 

Pada 1993 saya masuk SMP, dan untuk pertama kali bisa bermain basket di lapangan standar walaupun tergopoh-gopoh dengan ukuran besarnya bola dengan postur tubuh. Singkat cerita, saya tertarik pada cabang populer di sekolah-sekolah itu, bahkan saya terpilih menjadi anggota tim basket sekolah bertanding di kompetisi antar sekolah di Makassar pada periode 1995-1996. 

RCTI atau SCTV, stasiun televisi swasta nasional juga baru bisa tayang di Makassar pada waktu itu, ikut mempopulerkan basket dengan tayangan NBA dan Kobatama, semakin membuat saya menyenangi basket. Sayang itu musim pertama NBA sejak mundurnya Jordan.

Saya masih ingat bersama-sama teman sekolah antusias pertama kali menonton live NBA, final akbar 1994, mempertemukan Houston Rockets vs New York Knicks, dengan rivalitas raksasa Hakeem Olajuwon (Rockets) versus Patrick Ewing (Knicks). Hasilnya Rockets juara dengan skor ketat 4-3, dan Olajuwon dengan trademark under basket-pivot menjadi MVP.

Setahun kemudian pada final 1995, tim favorit saya Orlando Magic dengan dynamic duo Shaiquile O'Neal dan Anferney Hardaway berhasil menjadi tim terbaik Wilayah Timur dan menantang Rockets di final. Tapi Magic hancur lebur dengan Rockets sapu bersih 4-0, kekalahan paling telak final. Saya patah hati, dan berharap Magic bisa membalas pada tahun berikutnya. Pada paruh kedua musim 1995 itulah Jordan 'turun gunung' ke dunia NBA.

Baru pada musim 1995/1996, Jordan dan Bulls benar kembali secara penuh persiapan, baik fisik, teknik, dan mental. Pengamat dan penggemar yang memprediksi Bulls akan juara atau tidak, berada pada persentase seimbang. Saya termasuk kelompok yang memprediksi Bulls tak akan bisa juara hanya karena kembalinya Jordan. Barangkali karena saya sudah terlanjur ngefans pada Magic, tim dengan talenta-talenta muda yang mulai matang.

Prediksi saya salah besar. Magic tak lagi ganas, justru Jordan dan Bulls melaju ke final relatif mulus dengan angka kemenangaan tinggi di babak reguler. Bulls berhadapan dengan lawan tangguh dari wilayah Barat, Seattle Super Sonic, yang mengandalkan Gary Payton dan Shawn Kemp. Mentalitas juara yang kuat Jordan dan Scottie Pippen, akhirnya memenangkan Bulls juara untuk keempat kali. Juaranya Jordan pada 1996, dinilai satu satu comeback terhebat dalam sejarah olahraga.

Musim selanjutnya, pada 1996/1997, lebih fenomenal lagi. Bulls juara dengan mencatat rekor terbaik babak regular (72-10) dan meraih cincin juara kelima, di babak final Bulls mengatasi Utah Jazz dengan skor 4-2 lewat pertarungan tiap game yang sengit, dan seperti biasa Jordan selalu tampil sebagai penembak penentu kemenangan.

Pencapaian Bulls merupakan fenomena besar dalam NBA. Media dan pakar menilai Bulls era-90's merupakan satu tim paling sukses dan paling bernilai dalam sejarah olahraga AS. Presiden NBA David Stern tak sungkan memuji Bulls sebagai tim basket terbaik di masa itu dan untuk beberapa abad.

****

Dalam sepuluh seri The Last Dance, kita akhirnya tahu banyak dengan rinci bagaimana Bulls yang fenomenal tersebut dibangun dengan banyak kisah dan tentu saja konflik-konflik internalnya.

Semuanya dimulai pada 1984, Jordan bersama Hakeem Olajuwon di Houston dan Clyde Drexler di Portland Trail Brazzers menjadi rookie pilihan NBA dari liga kampus, NCAA. Sebelum Jordan datang, Bulls adalah tim payah, masih dianggap anak bawang di bawah LA Lakers, Philadelphia 76ers, atau Boston Celtics. Warga Chicago lebih tertarik pada klub bisbol Sox atau Cubs.

Jordan muda datang dari North California menghadapi tantangan berat mengurai persoalan Bulls. Tapi Jordan muda sudah bertekad kuad dengan ambisi besarnya. Ia membangun semua elemen yang dibutuhkan untuk berhasil. Komitmen, kerja keras, disiplin, dan kecintaan pada basket membentuknya menjadi pebasket tangguh dengan mentalitas kuat. 

Perlahan ia mengangakat level Bulls dan membuat kembali dicintai warga Chichago. Aksinya sangat hebat dan menghibur untuk ditonton, kata Barack Obama, mengenang saat ia tak punya uang untuk membeli tiket pertandingan Bulls, walau sudah mendapatkan diskon. Meski begitu, butuh tujuh tahun sejak ia bergabung, untuk Bulls memenangkan kejuaraan NBA pertama kali pada 1991, kemudian disusul pada 1992 dan 1993. Hettrick fantastis di tengah ketatnya persaingan NBA saat masa tersebut.

Jordan membawa karisma besar. Kata-kata tak bisa menjelaskan gerakan anggunnya. Keseimbangan, gerakan kaki, pijakan, dan tubuhnya terbang. Gerakannya luar biasa dan senantiasa mengancam. Tiap kali dikawal, dia berkelit, menjauh, dan melakukan lemparan yang sangat sulit. Tak ada duanya. Tak ada yang bisa menahannya.

Kita pun tahu, Bulls yang dipuja-puja sebagai tim super, menjelang musim 1997/1998 dilanda konflik internal. Ketenaran dan popularitas Jordan, Pippen, Rodman, dan Pelatih Phil Jackson rupanya mengusik kekuasaan Jerry Krausse, Manager Umum Bulls. Krausse merasa kesepian di bawah kepopuleran para anggotanya sendiri. Ia bertekad dan arogan membawa Bulls berjaya tanpa pelatih Jackson dan bintang Jordan dan kawan-kawan. Ia kemudian memutuskan bahwa kepelatihan Jackson dan aksi Jordan tersisa satu musim saja. Mereka harus pergi, apa pun hasil yang diraih. Kebijakan yang luar biasa aneh.

Musim terakhir itulah, 1997/1998, oleh Jackson dan Jordan menyebut perjalanan mereka sebagai tarian terakhir, yang dua dekade selanjutnya dipilih menjadi judul serial ini, The Last Dance. 

Jordan adalah Jordan, ia justru semakin terpacu menampilkan tarian terbaik. Pertandingan demi pertandingan ia mainkan, hingga Bulls berhasil lagi ke final, mengejar gelar keenam. Bulls kembali bertemu Jazz, yang lebih siap dari final tahun sebelumnya. Saya yakin kali ini Jazz yang akan menang, membalas kekalahan tahun sebelumnya.

Namun sekali lagi saya benar-benar patah hati dibuatnya, Jazz yang sedikit lebih diunggulkan kembali kalah dengan skor 2-4. Jordan, Pippen, dan Rodman punya mental baja setiap poin-poin kritis di quarter keempat, untuk membalikkan ketertinggalan. Beberapa kali kemenangan Bulls ditentukan melalui shooting mematikan Jordan. Kegagalan yang lebih pahit dibandingkan kegagalan 1997, menguburkan impian Malone, Stockton dan fans Jazz.

Final NBA 1998 tersebut diakui sebagai final terbaik dan terpopuler sepanjang sejarah NBA. Saya ingat terpaksa membolos sekolah demi menyaksikan yang tayang mulai pukul sembilan pagi waktu Indonesia. Setelah 1998, final NBA bukan lagi magnet untuk penggemar menantikannya.

***

Penayangan The Last Dance disebut-sebut bertujuan mengenalkan dan mengangkat lagi sosok Jordan sebagai The GOAT (greatest of all the Time) dalam bola basket, terutama untuk generasi milenial yang selalu bangga mengenakan sepatu Air Jordan, tapi belum pernah menyaksikannya secara langsung. Jordan sering disandingkan dengan LeBron James, bahkan dengan mendiang Kobe Bryan, tentag siapa sebenarnya yang pantas didapuk sebagai The GOAT.

Saya justru heran mengapa muncul rivalitas tersebut. Tak menarik buat saya mendebatkannya, karena Jordan adalah yang terbesar, tanpa tandingan. Saya pernah tahu Jordan adalah  manusia paling terkenal di bumi, dan mungkin sampai sekarang dengan fenomena sepatu Nike Jordan, meskipun saya bukan fansnya.

Sulit mencari kata-kata yang tepat jika kita ingin menjelaskan sosok Michael Jordan. Ia melebihi popularitas dari NBA dan bola basket itu sendiri. Jordan sudah menjadi ikon global, layaknya Muhammad Ali di Tinju, Diego Maradona di sepak bola, atau Michael Jackson dalam industri musik. The GOAT, no contest.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun