Liga Champions adalah kompetisi dengan atmosfer yang mengerikan. Terkadang strategi semata tidak cukup memenangi trofi 'kuping besar'. Butuh mentalitas baja dan keajaiban. Hasil laga bisa berubah dengan cepat. Kemenangan yang sudah di depan mata, tiba-tiba hilang dengan cara sangat menyakitkan. Sir Alex Ferguson, Manager legendaris Manchester United pernah mendeskripsikan persaingan Liga Champions sebagai "Neraka Berdarah"
Tepat hari ini 11 tahun yang lalu, pada leg-2 semifinal Liga Champions 2009 antara Chelsea vs Barcelona adalah satu contoh pertandingan besar yang menciptakan drama besar sepak bola Liga Champions.
****
Meskipun dikeroyok tiga klub Inggris, sebenarnya Barcelona merupakan unggulan teratas untuk memenangi Liga Champions 2009. El Barca memasuki era baru di bawah Manager muda, Joseph 'Pep" Guardiola.
Pep baru berusia 37 tahun, mengarungi musim perdana El-Blaugrana pada musim 2008/2009 menggantikan rezim Frank Rijkaard. Pep merombak besar-besaran skuad Barca, salah satunya menyingkirkan bintang besar idola Camp Nou, Ronaldinho. Pep tak butuh bintang besar yang membawa pengaruh negatif pada tim.
Pep yang paham betul filosofi Barcelona yang ditanamkan mendiang Johan Cruff mengandalkan pada pemain akademik La Masia, yakni Gerrard Pique, Xavi Hernandez, Andreas Iniesta, Sergio Busquet, dan Lionel Messi sebagai protagonis utama pengganti Ronaldinho.
Pep menciptakan konsep yang kemudian kita kenal dengan nama tiki-taka. Barcelona pun menjelma menjadi tim super, tampil memukau dan menyihir publik sepak bola dengan permainan menghibur dengan penguasaan bola dominan yang memikat. Mengancam sepanjang 90 menit.
Perjalanan Barcelona menuju semifinal sangat menyakinkan dengan banyak meraih kemenangan besar lewat gol-gol yang diciptakan Messi, Samuel Etoo, atau Thiery Henry. Di La Liga mereka juga begitu dominan meninggalkan jauh Real Madrid dan pesaing lain.
Sebelum melawan Chelsea di semifinal, Barcelona secara perkasa menghancurkan Real Madrid dengan skor 6-2 di stadion Santiago Bernabeu. Satu kekalahan paling memalukan Madrid di kandangnya dalam tajuk El-Clasico.
Berbekal kemenagan dahsyat itu, tentu saja Xavi Cs lebih difavoritkan menggungguli Chelsea untuk bisa meraih satu tiket final, yang rencananya akan digelar 27 Mei 2009 di Roma. Hampir tak ada peluang untuk Chelsea menahan dahsatnya gelombang tika-taka Barcelona.
Namun sepak bola terutama Liga Champions, tak semudah yang diprediksi oleh siapa pun. Chelsea dengan jiwa petarung di bawah pelatih Guus Hiddink, tak gentar dengan nama besar lawan. Pada leg-1 di Camp Nou, Chelsea tampil rapat dan disiplin, mereka sanggup menahan gempuran-gempuran yang dibangun Barcelona, dan sukses menahan imbang tuan rumah 0-0. Pertahanan yang tak bisa ditembus membuat Messi cs, kelihatan frustrasi. Barangkali itu pertama kali Barcelona tak berhasil mencetak satu gol pun dalam satu pertandingan, apalagi bermain di kandang sendiri.
Jhon Terry, Michel Ballack, Frank Lampard meraih modal penting untuk membawa Pep dan pasukannya bertarung pada leg-2Â yang sangat menentukan di Stamford Bridge, London. Publik mulai percaya, Barcelona bisa saja ditumbangkan, dengan taktik yang tepat. Kepercayaan diri skuad London Barat semakin kuat.
Leg-2 tak jauh berubah. Chelsea harus dipaksa bertahan meski bertanding di markas sendiri. Namun Chelsea justru berhasil unggul 1-0 pada menit ke-9 lewat tembakan volly spekulasi gelandang Michel Essisien dari jarak 25 meter yang tak bisa diselamatkan Victor Valdes.
Chelsea di atas angin, dan setelah unggul satu gol, mereka semakin merapatkan barisan untuk mati-matian mempertahankan kemenangan. Polanya sudah mereka pahami dengan pengalaman di Camp Nou. Sekalipun waktu masih Panjang.
Setelah sejam duel yang berlangsung keras ini, pemain Barcelona Eric Abidal dikartu merah wasit Tom Henning Ovrebo (Norwegia) karena melanggar keras Nicholas Anelka di sisi kotak penalti Barcelona.
Drama London itu berawal dari momen ini. Hanya melawan sepuluh pemain, dan sudah unggul membuat Chelsea sudah sangat percaya diri mereka akan menang dan kembali mendapatkan tiket final. Padahal sesungguhnya mereka masih berada dalam bahaya besar. Sisa laga dengan keunggulan jumlah pemain, tak bisa dimanfaatkan Chelsea untuk mengamankan duel. Drogba dan Lampard melewatkan peluangnya untuk 'mengakhiri' laga.
Sedangkan bagi Barcelona, tidak ada pilihan selain membuat satu gol penyeimbang. Barcelona terus mencoba membangun serangan tapi masih kesulitan menembus pertahanan Chelsea. Tapi mereka terus berusaha menciptakan peluang sekecil apapun.
Mereka menunjukkan kekuatan dan keberanian, yang pada akhirnya mendapatkan apa yang mereka perjuangkan. Gol penyeimbang yang menentukan, pada menit ke-93!!. Melalui serangan dari sayap kanan, Iniesta menembak bola melalui tempurung kaki kanannya dari luar kotak penalti setelah mendapatkan operan pelan Messi dari dalam kotak. Bola itu melewati hadangan kerumunan pemain dan sedikit menghalangi pandangan Peter Chech. Tendangan Iniesta tersebut merupakan tembakan pertama on-target selama pertandingan.
Tuan rumah tak percaya, meratapi pertahanan yang sudah dibangun dari dua laga, akhirnya tembus juga. Chelsea patah hati. Pada saat bersamaan pemain Barcelona dilanda kegembiraan luar biasa. Mereka merayakan cukup lama dan Pep ikut selebrasi sepeti anak-anak mendapatkan hadiah ulangtahun.
Tapi Drama belum selesai. Dua menit terakhir Chelsea masih mendapatkan satu kans. Dari umpan sepak pojok Frank Lampard bola disambut Michael Ballack, tetapi bisa dihalau striker Barcelona, Samuel Eto'o yang turun ke belakang. Hanya saja Eto'o menghalau bola dengan lengan tangan. Tapi wasit Ovrebo tidak menunjuk titik putih bagi Chelsea. Ballack, Drogba, dan Bosingwa murka dengan memaki-maki wasit Ovrebo, namun semua kecaman dan protes tak mengubah hasil, sekalipun kontrovesial Ovrebo yang dianggap gagal memimpin duel penuh tekanan ini.
Setelah pertandingan benar-benar selesai, pemain Barcelona bersuka cita. Bos Pep sangat bahagia. Sementara ambisi Chelsea kembali kandas. Setelah kekalahan tragis di final Moskow 2008 oleh United, kini secara menyakitkan tiket final yang sudah di depan mata raib di Stamford Bridge.
Sementara bagi klub Catalan, kemenangan di London ini merupakan satu laga yang menentukan beberapa sejarah penting bagi klub mereka sendiri, dan bagi sepak bola Eropa dan dunia secara keseluruhan.
Setelah momen kritis tersebut, Barcelonanya Pep Guardiola meraih treble winner yang luar biasa; Pep menjadi manajer termuda yang memenangkan Liga Champions, dalam usia belum 38 tahun; Barcelona kemudian merajai La Liga dengan hettrick dan kembali juara Liga Champions 2011.
Momen menjuarai Liga Champions 2009 dengan penuh gaya dan berkelas tersebut juga mengantarkan Lionel Messi pada Balllon d'Or 2009. Bola emas pertama La Pulga, hingga kemudian sampai enam kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H