Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pada Mulanya Rokok

29 September 2019   20:45 Diperbarui: 10 Oktober 2019   21:30 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perokok. dokpri

Yuval Noah Harari, sejarawan muda paling fenomenal saat ini, menulis dalam buku larisnya, Sapiens (2011), bahwa rokok kerap kali berperan sebagai uang. Narapidana yang tidak merokok bersedia menerima rokok sebagai pembayaran, dan menghitung nilai semua barang dan jasa lain dalam rokok. Seseorang yang selamat dari  Auschwitz menjabarkan mata uang rokok yang di gunakan di kamp tersebut. 

"kami memiliki mata uang kami sendiri yang nilainya tidak dipertanyakan siapa pun: rokok. Harga setiap barang dinyatakan dalam rokok. Pada masa "normal", yakni ketika orang-orang calon masuk kamar gas berdatangan secara teratur, satu roti berharga 20 batang rokok; satu pak margarin 300 gram senilai 30 batang rokok; satu arloji dinilai 80-200 batang rokok: satu liter alkohol dapat ditukar 400 batang rokok!"

Sebelumnya lagi pada 1994, film klasik The Shawshank Redemption, menceritakan sekelompok narapidana kelas berat yang dipimpin Morgan Freeman (berperan sebagai Red), selalu bertaruh banyak hal, dengan bayaran rokok. Tiap pagi saat sarapan di  pantri penjara yang luas, pemenang taruhan menagih rokok-rokok kemenangan, lalu menderetkan sembari mencium aroma harum rokok-rokok tersebut. Rokok telah menjadi ikon pesta di Shawshank.

Tidak hanya digunakan di awal-awal peradaban manusia. Tradisi kepercayaan terhadap rokok masih terjadi di penjara-penjara kita. Tiap kali membesuk teman-narapidana, rokok menjadi barang wajib untuk dibawa. Sipir penjara pun acap menerima 'suap' minimal sebungkus rokok dari para pengunjung. Jika rokok suap bukan merk rokok yang diisapnya, rokok bakal ditukar atau bahkan dijual dengan sedikit lebih murah daripada harga sebenarnya.

Begitulah jika kita berbicara soal rokok, menjadi isu global, fenomena menarik sepanjang waktu, termasuk di Indonesia. Rokok selalu dikaitkan dengan kesehatan, ekonomi, kebijakan politik, sampai hubungannya dengan sosio-kultural masyarakat

***

Indonesia menjadi negara dengan perokok aktif terbanyak di ASEAN. Lebih dari sepertiga populasi Indonesia (36.3%) adalah perokok. Perokok di Indonesia cenderung menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan jumlah perokok diatas 15 tahun sebanyak 33,8 persen.

Peningkatan jumlah perokok ini dibarengi dengan peningkatan proporsi penyakit tidak menular akibat konsumsi rokok. Beberapa diantaranya hipertensi, stroke, diabetes, jantung, dan kanker. WHO juga sudah menyebutkan bahwa berbagai penyakit tidak menular saat ini besar pemicunya karena rokok. Perilaku merokok bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari persepsi yang rendah terhadap kerugian merokok dan model perokok di sekitarnya, pengaruh keluarga atau teman yang merokok, hingga paparan terhadap iklan rokok dalam berbagai bentuk.

Peningkatan jumlah penderita akibat konsumsi rokok, berpengaruh dalam peningkatan beban kesehatan negara. Bahkan BPJS kesehatan mengalami defisit  hingga 16,5 triliun pada 2018 akibat banyaknya jumlah peserta yang sakit. Pemerintah pun mulai melirik dana bagi hasil cukai tembakau sebesar 23 persen guna menambal defisit ini.

Efektifkah kebijakan kontrol tembakau model ini ? 

Pengendalian rokok di Indonesia memang masih lemah dan belum dapat berdampak pada perilaku merokok. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), konvensi pengembangan kebijakan pengendalian tembakau yang telah ditandatangani oleh 173 negara.

Pada saat 140 negara sudah melarang iklan rokok dalam semua bentuk, negara kita masih menyiarkan iklan rokok. Coba kita cermati iklan-iklan rokok, dibuat dengan menyasar generasi muda, menebarkan opini positif, digambarkan mencitrakan sosok yang maskulin, penuh petualangan, dan hal-hal menarik lainnya. 

Sementara efek samping rokok tidak disampaikan secara jelas. Akibatnya, pandangan masyarakat terhadap rokok bersifat positif, bukan sesuatu yang membahayakan kesehatan. Meskipun pemerintah telah mengatur peringatan bahaya merokok serta mencantumkan peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan produk rokok, tetapi hal ini tidak memberikan dampak signifikan bagi perokok. Asap tetap mengebul di mana-mana.

***

Di balik tingginya tingkat konsumsi rokok di Indonesia, terdapat industri bernilai ratusan juta dolar. Meski diperkirakan akan meredup, industri rokok justru semakin maju hingga mampu menyumbang APBN 80 triliun rupiah.

Wanda Hamilton dalam bukunya yang berjudul Nicotine War, Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat,  bercerita mengenai fakta-fakta di balik agenda global pengontrolan atas tembakau, bahwa terdapat kepentingan besar bisnis perdagangan obat-obatan yang dikenal dengan Nicotine Replacement Theraphy (NRT). Di sana, sangat kuat kesan dan indikasi bahwa kepentingan kesehatan publik melalui kampanye bahaya tembakau hanyalah bungkus dari motif kepentingan bisnis perdagangan produk NRT.

Ketika para penggiat anti tembakau masih sibuk mengampanyekan bahaya tembakau dan menekan pemerintah untuk membuat regulasi pengontrolan yang ketat, sesungguhnya korporasi internasional yang mendapat keuntungan bisnis. Dari agenda ini, justru mereka sibuk menghitung peluang keuntungan dari bisnis tersebut. Perebutan emas nikotin adalah mengenai bagaimana cara manusia mengonsumsinya. Perusahaan farmasi mengamati bagaimana cara manusia menikmati rokok. Kemudian, mereka sembari mempersiapkan produk pengganti dan merebut pasar dari masyarakat yang mengkonsumsi rokok tersebut.

Disamping itu, industri ini mampu menyerap jutaan tenaga kerja dalam rantai proses produksinya hingga pemasarannya. Ratna Saptari, peneliti UGM, memaparkan hasil penelitiannya bahwa jenis tenaga kerja yang banyak diserap oleh industri rokok adalah tenaga kerja low-skilled yang dipekerjakan sebagai buruh pabrik dan sebagian besar dari mereka adalah perempuan, yang menjadi sumber penghasilan utama bagi keluarga mereka. Pabrik rokok lebih banyak mempekerjakan perempuan dibandingkan dengan laki-laki, karena pekerja laki-laki kerap melakukan aksi mogok kerja sehingga dapat menghambat proses produksi.  Meski pekerjaan ini terbilang cukup monoton dengan jam kerja yang relatif panjang, para buruh perempuan tetap bertahan pada pekerjaan ini. Banyak dari mereka yang telah bekerja sebagai buruh selama lebih dari 10 tahun. Manajemen menggunakan berbagai cara untuk membuat para buruh bertahan.

Tidak seperti di sejumlah negara maju yang telah berhasil mengendalikan rokok secara efektif, Indonesia masih saja kesulitan mengontrol distribusi rokok di dalam negeri. Misalnya, Australia telah berhasil menjalankan kebijakan kemasan rokok polos dalam pengendalian dampak konsumsi rokok. Pemerintah Australia berhasil memaksa produsen rokok untuk menghilangkan seluruh bagian penting produk rokok seperti merek dagang, warna kemasan rokok, dan lainnya yang menjadi identitas sebuah produk rokok.

Upaya kontrol rokok di Indonesia tidaklah mudah dan menghadapi berbagai tantangan. Kenyataan bahwa industri rokok masih menjadi salah satu industri penghasil pendapatan terbesar negara masih menjadi pertimbangan untuk membatasi industri rokok ini. Industri rokok Indonesia dalam posisi dilematis, ia dibenci karena efek kesehatan, sekaligus diperlukan karena menjadi industri yang menyerap banyak tenaga kerja.

Namun kita tetap harus optimis, bersatu dan berjibaku melakukan advokasi yang kuat mengenai kampanye anti merokok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun