Pada saat 140 negara sudah melarang iklan rokok dalam semua bentuk, negara kita masih menyiarkan iklan rokok. Coba kita cermati iklan-iklan rokok, dibuat dengan menyasar generasi muda, menebarkan opini positif, digambarkan mencitrakan sosok yang maskulin, penuh petualangan, dan hal-hal menarik lainnya.Â
Sementara efek samping rokok tidak disampaikan secara jelas. Akibatnya, pandangan masyarakat terhadap rokok bersifat positif, bukan sesuatu yang membahayakan kesehatan. Meskipun pemerintah telah mengatur peringatan bahaya merokok serta mencantumkan peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan produk rokok, tetapi hal ini tidak memberikan dampak signifikan bagi perokok. Asap tetap mengebul di mana-mana.
***
Di balik tingginya tingkat konsumsi rokok di Indonesia, terdapat industri bernilai ratusan juta dolar. Meski diperkirakan akan meredup, industri rokok justru semakin maju hingga mampu menyumbang APBN 80 triliun rupiah.
Wanda Hamilton dalam bukunya yang berjudul Nicotine War, Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat,  bercerita mengenai fakta-fakta di balik agenda global pengontrolan atas tembakau, bahwa terdapat kepentingan besar bisnis perdagangan obat-obatan yang dikenal dengan Nicotine Replacement Theraphy (NRT). Di sana, sangat kuat kesan dan indikasi bahwa kepentingan kesehatan publik melalui kampanye bahaya tembakau hanyalah bungkus dari motif kepentingan bisnis perdagangan produk NRT.
Ketika para penggiat anti tembakau masih sibuk mengampanyekan bahaya tembakau dan menekan pemerintah untuk membuat regulasi pengontrolan yang ketat, sesungguhnya korporasi internasional yang mendapat keuntungan bisnis. Dari agenda ini, justru mereka sibuk menghitung peluang keuntungan dari bisnis tersebut. Perebutan emas nikotin adalah mengenai bagaimana cara manusia mengonsumsinya. Perusahaan farmasi mengamati bagaimana cara manusia menikmati rokok. Kemudian, mereka sembari mempersiapkan produk pengganti dan merebut pasar dari masyarakat yang mengkonsumsi rokok tersebut.
Disamping itu, industri ini mampu menyerap jutaan tenaga kerja dalam rantai proses produksinya hingga pemasarannya. Ratna Saptari, peneliti UGM, memaparkan hasil penelitiannya bahwa jenis tenaga kerja yang banyak diserap oleh industri rokok adalah tenaga kerja low-skilled yang dipekerjakan sebagai buruh pabrik dan sebagian besar dari mereka adalah perempuan, yang menjadi sumber penghasilan utama bagi keluarga mereka. Pabrik rokok lebih banyak mempekerjakan perempuan dibandingkan dengan laki-laki, karena pekerja laki-laki kerap melakukan aksi mogok kerja sehingga dapat menghambat proses produksi. Â Meski pekerjaan ini terbilang cukup monoton dengan jam kerja yang relatif panjang, para buruh perempuan tetap bertahan pada pekerjaan ini. Banyak dari mereka yang telah bekerja sebagai buruh selama lebih dari 10 tahun. Manajemen menggunakan berbagai cara untuk membuat para buruh bertahan.
Tidak seperti di sejumlah negara maju yang telah berhasil mengendalikan rokok secara efektif, Indonesia masih saja kesulitan mengontrol distribusi rokok di dalam negeri. Misalnya, Australia telah berhasil menjalankan kebijakan kemasan rokok polos dalam pengendalian dampak konsumsi rokok. Pemerintah Australia berhasil memaksa produsen rokok untuk menghilangkan seluruh bagian penting produk rokok seperti merek dagang, warna kemasan rokok, dan lainnya yang menjadi identitas sebuah produk rokok.
Upaya kontrol rokok di Indonesia tidaklah mudah dan menghadapi berbagai tantangan. Kenyataan bahwa industri rokok masih menjadi salah satu industri penghasil pendapatan terbesar negara masih menjadi pertimbangan untuk membatasi industri rokok ini. Industri rokok Indonesia dalam posisi dilematis, ia dibenci karena efek kesehatan, sekaligus diperlukan karena menjadi industri yang menyerap banyak tenaga kerja.
Namun kita tetap harus optimis, bersatu dan berjibaku melakukan advokasi yang kuat mengenai kampanye anti merokok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H