Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Bumi Manusia dengan Segala Persoalannya

4 September 2019   22:00 Diperbarui: 8 September 2019   06:31 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menonton Bumi Manusia sekitar dua pekan silam, dan baru kali ini berkesempatan membuat reviewnya.

Bagi pembaca tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, tentunya merasa gembira novel yang diterbitkan pada 1980--kemudian dilarang diedar dan dibaca pada rezim orde baru karena dianggap mengajarkan paham komunis--diangkat dalam layar lebar. Tapi sekaligus kita tak berharap banyak akan bisa menyamai klimaks seperti pada naskah novelnya setebal 535 halaman. Kunci penting, datanglah ke bioskop dengan ekspektasi sedang-sedang saja.

Sesungguhnya saya bukan fans Hanung Bramantyo. Batin saya lebih menginginkan film Bumi Manusia digarap Garin Nugroho, yang sukses menghidupkan Hadji Omar Said Tjokroaminoto, Guru Bangsa yang juga pemimpin Sarekat Islam (2015). Bisa pula Riri Riza yang pada 2005 sukses membesut Gie, film sejarah kolosal tentang mahasiswa aktivis. Biar begitu Bumi Manusia tetaplah Bumi Manusia, novel terbaik Indonesia yang telah saya lahap berkali-kali sejak pertama pada 2000 lampau.

Film Bumi Manusia secara keseluruhan nampaknya cukup patuh pada novel, dan saya (kita) patut memberikan kredit pada Hanung yang bisa menahan godaan untuk tak bereksperimen terlalu jauh.

Berfokus pada tiga karakter: Minke, Ontosoroh, dan Annelies Mellema. Ketiganya menghidupkan dan menghubungkan seluruh tokoh dalam film.

Minke dilahirkan pada 31 Agustus 1880, Pribumi anak Bupati B, sehingga dapat bersekolah di Hoogere Burger School (HBS). Nama Minke merupakan plesetan- akibat gurunya spontan mengucapkan 'Monkey' ketika hendak menghukumnya di ruang kelas. Minke oleh Hanung dipercayakan pada Iqbal Ramadhan. Aktor yang melejit lewat film Dylan 1990 (& 1991)--idola baru perempuan remaja saat ini.-

Iqbal tampil cukup baik menghidupkan sosok Minke, meski di beberapa adegan, Iqbal sempat kehilangan magis Minke. Seperti ketika Minke bersimpuh pada ibunya (Ayu Laksmi), memohon dan menolak menjadi Bupati, pengganti Ayahanda kelak, bahwa 'Dunianya bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Dunianya adalah Bumi Manusia dengan persoalannya. Hanya ingin menjadi manusia bebas, tidak diperintah, tidak memerintah.' Kalimat itu merupakan salah satu kutipan buku yang paling menancap bagi saya.

Kalimat bagus lain dalam novel 'Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri; bersuka karena usahanya sendiri dan; maju karena pengalamannya sendiri' bahkan terpotong ketika dialog Ontosoroh (Ine Febriyanti) memuji Minke pada waktu pertama berjumpa di ruang tamu rumah besar Ontosoroh di Wonokromo.

Justru adegan pemerkosaan Annelies Mellema (Mawar de Jongh) yang mendapat perhatian khusus. Hanung lebih memilih mendramatisirnya dengan teknik gerakan lambat seolah mencekam ala sinetron-sinetron kita, untuk membuat daya kejut pada penonton bioskop.

Padahal saya yakin siapa pun yang membaca novelnya pastilah menilai adegan ini sangat menjemukan. Tak lagu terkejut saat kamera menunjukkan bahwa pelaku pemerkosa adalah Robert Mellema (Giorgino Abraham), kakak kandung Annelies.

Annelies digambarkan sebagai gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata pribumi. Mata Annelies berkilauan seperti sepasang kejora, dan bibirnya tersenyum meruntuhkan iman, membuat Minke jatuh cinta pada pandangan pertama.

Cantik tiada tanding, demikian pujian Minke pada Annelies di ladang perkebunan milik keluarga Ontosoroh. Mawar de Jongh yang tidak pernah saya kenal dalam dunia sinema Indonesia, memainkan dengan cantik karakter Annelies, pas dan tak berlebih-lebihan.

Ontosoroh atau Nyai yang diperankan Ine adalah karakter paling mendekati asli dan tampil paling apik. Walaupun tidak digambarkan sebagaimana di novel bahwa Ontosoroh awalnya bernama Sanikem, gundik tuan Herman Mellema seharga 25 gulden, banyak membaca novel-novel barat sebelum beranjak tidur. Kebiasaan yang membentuk karakternya sedemikian kuat.

Penampilan Ine sangat memuaskan dengan wajah, konde, kebaya, tatapan mata, gestur, dan tutur kata yang membius.  Barangkali Ine tak  lagi asing karena sudah beberapa kali memerankan Ontosoroh di pementasan teater.

Selain disimpul kisah percintaan Minke dan Annelies serta persoalan pelik keluarga Mellema, film ini juga mengangkat perjuangan Minke dan Ontosoroh, sebagai pribumi, menentang kesewenang-wenangan dan hegemoni koloni Hindia Belanda, sembari bertekad mengubah budaya feodalisme--Minke tak paham mengapa harus berjalan jongkok di rumah ayahnya-pribumi yang membelenggu. 

Minke dan Ontosoroh akhirnya dinyatakan kalah oleh hukum kolonial Belanda. Minke harus kehilangan Annelies, bungsu Ontosoroh yang cantik rupawan. Sementara Ontosoroh kehilangan semua harta benda termasuk ladang pekebunan yang susah payah dibangun untuk menghidupi sekitar 500 keluarga petani ladang penggarap.

Hanung mengakhiri film ini dengan menampilkan vokal Iwan Fals yang menyanyikan Ibu Pertiwi, entah apa alasannya. Apa pun itu, yang jelas saya dapat menikmati film berdurasi 181 menit tersebut.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun