Cantik tiada tanding, demikian pujian Minke pada Annelies di ladang perkebunan milik keluarga Ontosoroh. Mawar de Jongh yang tidak pernah saya kenal dalam dunia sinema Indonesia, memainkan dengan cantik karakter Annelies, pas dan tak berlebih-lebihan.
Ontosoroh atau Nyai yang diperankan Ine adalah karakter paling mendekati asli dan tampil paling apik. Walaupun tidak digambarkan sebagaimana di novel bahwa Ontosoroh awalnya bernama Sanikem, gundik tuan Herman Mellema seharga 25 gulden, banyak membaca novel-novel barat sebelum beranjak tidur. Kebiasaan yang membentuk karakternya sedemikian kuat.
Penampilan Ine sangat memuaskan dengan wajah, konde, kebaya, tatapan mata, gestur, dan tutur kata yang membius.  Barangkali Ine tak  lagi asing karena sudah beberapa kali memerankan Ontosoroh di pementasan teater.
Selain disimpul kisah percintaan Minke dan Annelies serta persoalan pelik keluarga Mellema, film ini juga mengangkat perjuangan Minke dan Ontosoroh, sebagai pribumi, menentang kesewenang-wenangan dan hegemoni koloni Hindia Belanda, sembari bertekad mengubah budaya feodalisme--Minke tak paham mengapa harus berjalan jongkok di rumah ayahnya-pribumi yang membelenggu.Â
Minke dan Ontosoroh akhirnya dinyatakan kalah oleh hukum kolonial Belanda. Minke harus kehilangan Annelies, bungsu Ontosoroh yang cantik rupawan. Sementara Ontosoroh kehilangan semua harta benda termasuk ladang pekebunan yang susah payah dibangun untuk menghidupi sekitar 500 keluarga petani ladang penggarap.
Hanung mengakhiri film ini dengan menampilkan vokal Iwan Fals yang menyanyikan Ibu Pertiwi, entah apa alasannya. Apa pun itu, yang jelas saya dapat menikmati film berdurasi 181 menit tersebut.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H