Banyak kajian ilmiah telah menyimpulkan bahwa ada hubungan positif yang terjadi antara fanatisme dengan perilaku agresif pada kelompok suporter sepakbola. Fanatisme yang berlebihan mendukung klub sepakbola cenderung menciptakan perilaku agresif. Semakin fanatik suporter maka semakin tinggi tingkat agresivitasnya, jika tak diredam, bisa sampai perilaku ekstrem.
Hipotesis tersebut sangat jelas jika kita melihat jejak panjang rivalitas Persija Jakarta dengan Persib Bandung, yang sudah mengakar pada ideologi yang tidak bisa dijelaskan dengan nalar yang sehat. Tak heran, pertandingan Persib dan Persija, selalu berakhir dengan bentrok antar suporter.
Selalu disebabkan penggunaan atribut masing-masing tim serta. Kaos, bendera, spanduk telah menjadi simbol dan identitas dari suatu kelompok suporter. Gengsi dan harga diri mereka dipertaruhkan ketika tim kesayangan bertanding. Kebencian yang mengatas namakan sepakbola sudah membaluti jiwa raga kedua kubu.
Pada Minggu sore, (23/9/2018), kebencian itu sampai harus mengorbankan nyawa manusia. Seorang suporter bola klub Persija Jakarta, bernama Haringga Sirla, tewas dikeroyok tak kurang dari 30 suporter klub Persib Bandung, di kawasan Stadion Gelora Bandung Lautan Api, saat hendak menyaksikan duel seru Liga-1 Indonesia yang mempertemukan dua rival Persib versus Persija. Pemuda 23 tahun itu dianiaya massa secara sadis yang menghancurkan kepalanya hingga meregang nyawa seketika.
Kematian Haringga membuat saya sangat terpukul. Sangat sedih, berduka sangat mendalam, tak hanya sebagai sesama suporter sepakbola, namun rasa kemanusiaan kita semua tergugah. Mengapa sampai terjadi ada sekelompok orang yang tega berbuat sekeji itu atas nama kecintaan pada sepakbola. Pelaku pengeroyokan Haringga itu sungguh biadab, mesti bertanggung jawab secara hukum.
Peristiwa yang bukan satu-dua kali terjadi, namun selalu berulang. Oleh karena itu saatnya pemerintah harus turun tangan, mengambil tindakan tuntas hingga ke akarnya, yakni langkah tegas dan berani memutus mata rantai kekerasan di sepakbola. Kita semua harus meletakkan tewasnya Haringga sebagai musibah, lalu merajut evaluasi menyeluruh. Jika penanganan kasuistik dan biasa saja, tragedi akan terus terjadi.
Dikutip Kompas, riset Our Soccer, lembaga pemantau sepak bola nasional, mencatat setidaknya 70 suporter bola tewas akibat vandalisme sepakbola Indonesia sejak 1995. Dalam setahun terakhir, tujuh nyawa menjadi korban akibat kekerasan sepakbola. Sepakbola telah dibunuh penjahat.
Kecintaan Haringga pada sepak bola (Persija) juga sekaligus membawanya pada kematian yang tragis. Sungguh ironis. Selamat jalan Haringga, semoga 'pengorbananmu' membuat sepakbola kita menjadi pemersatu.
Haringga adalah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H