Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Final Piala Dunia 2018 di Luzhniki Stadium

15 Juli 2018   15:14 Diperbarui: 16 September 2019   22:04 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.fifa.com/worldcup/destination/stadiums/stadium=810/index.html

Tak ada pesta yang tak berakhir.

Piala Dunia Rusia 2018 yang gemerlap akan tuntas dalam hitungan jam. Kita sudah menyaksikan 63 pertandingan apik di 11 kota di seantero daratan Rusia yang sangat luas.

Satu per satu negara peserta, Jerman, Argentina, Portugal, Spanyol, Uruguay, Inggris, dan Belgia, telah berguguran. Yang tersisa hanya dua negara: Perancis dan Kroasia. 

Telstar-18, bola resmi Piala Dunia Rusia akan bergulir untuk terakhir kalinya di Luzhniki Stadium, stadion di Moskow,-- yang menjadi inspirasi Presiden RI pertama Ir. Sukarno membangun stadion Gelora Utama Bung Karno--akan menjadi panggung dan saksi, siapa diantara Perancis atau Kroasia, yang mengangkat  tinggi-tinggi trofi emas Piala Dunia maha karya Silvo Baldini.

****

Jalan kedua finalis melangkah ke partai puncak sungguh tidak mudah. Harus diraih dengan berkeringat, perjuangan keras, dan pengorbanan yang tak terhingga nilainya.

Perancis merupakan juara Grup C dengan unggul atas Denmark, Peru, dan Australia. Sempat dinilai terlalu berhati-hati di penyisihan Grup, Perancis menunjukkan kapasitasnya sebagai favorit kuat setelah mengalahkan Argentina di babak 16 besar, dan kemudian melibas Uruguay di perempat final. Di semi-final derby Eropa melawan favorit baru, Belgia, Perancis memperlihatkan kematangan tim untuk meraih kemenangan tipis 1-0.

Permainan yang ditampilkan di perdelapan final dan perempat final, dan semi-final sangat dinamis dan menunjukkan kesolidan, impresif, dan stabil, dengan semangat membara. Tim ini terus bertumbuh seiring berjalannya enam laga, pasukan muda mereka semakin padu dan pede.

Lini belakang yang dikawal duet bek tengah Raphael Varane dan Samuel Umtiti terlihat semakin kokoh menjaga kiper Hugo Lloris dari serangan-serangan lawan. Bergerak ke lini tengah, Les Bleus sangat beruntung memiliki trio pada Paul Pogba, N'Golo Kante, dan Blaise Matuid. Barisan gelandang ini digadang-gadang sebagai lini tengah terkuat di dunia.

Begitu juga formasi depan Perancis, satu yang tertajam di dunia. Tiga striker kerap dipasang sebagai predator yang menakutkan. Ketenangan Antoine Griezmann, kecepatan Kylian Mbappe, dan pengalaman Oliver Giroud semakin bersinergi. Mereka  punya visi bermain yang kuat dan kompak. Terutama sosok Griezmann, yang kian matang dan kian berkembang.

Perancis, di bawah pelatih Didier Deschamps dan komando kapten Hogo Lloris, mencoba mengukir sejarah baru bagi mereka sendiri di tanah Rusia, setelah mereka mencetak sejarah pertama tepat dua dekade lalu di negeri sendiri. Generasi emas pasukan muda yang sangat lapar dan punya ambisi.

Jika sukses, Les Bleus, menyamai raihan dua bintang Argentina dan Uruguay. Deschamps pun akan mensejajarkan diri dengan nama besar Mario Zagallo (Brasil) dan Franz Benckenbauer (Jerman), mengangat trofi sebagai pemai (kapten) dan sebagai pelatih.

Militansi Kroasia

Bagaimana dengan Kroasia, sejarah apa yang hendak mereka ciptakan ?

Kroasia adalah negara kecil tapi prestasi besar. Jumlah penduduknya tidak sampai 5 juta jiwa, negara kecil di semananjung Balkan ini merupakan pecahan dari Yugoslavia akibat perang saudara yang lama berkecamuk di sana.

Mereka menjadi anggota FIFA sejak tahun 1992. Namun 26 tahun kemudian mereka sudah berlaga di Final dan terpisah satu pertandingan kemenangan untuk menggenggam piala paling direbuti semua negara.

Perjalanan mereka di Rusia jelas memperlihatkan semangat nasionalisme yang rela berkorban demi harkat martabat negara yang mengalami banyak masalah. Mereka tampil sebagai tim dengan materi mumpuni dan pantang menyerah.

Memadukan teknik apik dan fisik prima penggawa Vatreni, Kroasia tampil hampir sempurna di tiga laga Grup D. Mereka tanpa ampun memborong sembilan poin dengan tiga streak kemenangan, termasuk memporak-porandakan pertahanan Argentina.

Kisah heroik dengan militansi dan semangat nasionalisme terlihat jelas di fase gugur. Melawan Denmark di perdelapan final, Rusia di perempat final, dan Inggris di semi final, mereka selalu tertinggal dulu. Namun mampu bangkit dan kemudian menang.

Ketiganya harus dilewati dengan dua kali adu penalti dan sekali perpanjangan waktu. Jika kita bicara kelaziman, menjalani tiga pertandingan selama 120 menit dan adu penalti yang menguras energi, emosi, dan mental, mustahil dapat melalui dengan baik. Tapi pemain-pemain Kroasia membuktikan itu dengan semangat rela berkorban.

Saya belum bisa membayangkan bagaimana pesta di Zagreb dan bangganya seluruh rakyat Kroasia jika Luka Modrid, Ivan Rakitic, dan kawan-kawan, membawa pulang gelar Piala Dunia.

****

Racikan strategi mana yang lebih sukses, Deschamps atau Zlatko Dalic ? siapa yang akan mengangkat piala tinggi-tinggi, Lloris atau Luka Modric ? semua akan mendapat jawaban pada final Piala Dunia edisi ke- 21, yang akan diadili Nestor Pitana, wasit asal Argentina.

Mari kita saksikan bersama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun