Pagi tadi, saya membaca dengan takzim kisah Gareth Southgate, Manager Timnas Inggris, yang diangkat harian Kompas di rubrik sosok.
Entah kenapa setiap berbicara Southgate, bagi saya, waktu seakan terlipat kembali menuju 22 tahun lalu. Yes, Piala Eropa 1996, yang berlangsung di daratan Inggris merupakan sedikit turnamen sepak bola yang saya ingat detail momen-momen terbaiknya.
Satu paling melekat tentu saja perjalanan dan ambisi tim Inggris menjuarai Piala Eropa untuk pertama kali. Tim 'Tiga Singa" dilatih Terry Venables dengan skuad: David Seaman, Tony Adams, Stuart Pearce, duo Paul (Ince dan Gascoigne), dan duet predator yang terkenal dengan SAS (Alan Shearer dan Teddy Sheringham). Southgate barangkali anggota tim termuda kala itu, usia 25.
Inggris bermain spektakuler dengan kemenangan meyakinkan atas Skotlandia, 2-0, dan membantai Belanda, 4-1. Kemenangan fantastis dengan menampilkan permainan gaya khas Inggris yang kondang dengan Kick and Rush. Gol demi gol yang diceploskan ke gawang Skotlandia dan Belanda sungguh berkelas, lahir dari kerja sama apik dari semua lini.
Gol spektakuler Paul Gascoigne ke gawang Andy Goram yang paling dikenang, bahkan hingga sekarang masih sering diputar. Gol tersebut tercipta bermula dari tendangan gawang oleh David Seaman jauh ke tengah lapangan. Bola kemudian disambut Steve Mc Manaman, yang kemudian dengan sekali kontrol, menyodorkan ke Darren Anderton, di sisi kiri.
Anderton tanpa kontrol melepas umpan melambung ke kotak penalti Skotlandia, Gazza yang dituju, dengan insting tepat, menggunakan kaki kiri, bola dicip untuk mengelabui bek Colin Hendry. Hendry tak menyangka bola melewati wajah dan kepalanya, membuatnya hilang keseimbangan. Di saat bersamaan Gazza melepaskan tembakan voli kaki kanan akurat yang tak mampu dihadang Andy Goram !!
Inggris terus bersuka cita dan berpesta pora. Tim, suporter, media, merasa sangat yakin inilah saatnya mereka juara setelah 30 tahun lamanya menunggu. Football coming home.
***
Drama itu terjadi di babak semifinal melawan musuh besar, Jerman. Di stadion klasik Wembley, duel yang mengulang memori final Piala Dunia 1966, saat Inggris pertama kali dan terakhir kali menjadi juara dunia sepak bola. Laga ini juga mengulang semifinal Piala Dunia 1990, dimana Inggris bercucuran air mata setelah gagal lewat adu penalti di Turin.
Sindhunata dalam buku Air Mata Bola mendeskripsikan laga Inggris versus Jerman, sebagai malam yang sarat beban bagi pemain Inggris, mereka harus melakukan revanche terhadap Jerman, sekaligus memulihkan kembali kejayaan Inggris di masa lalu. Tiga puluh tahun lamanya hidup tanpa gelar apa-apa sungguh membuat Inggris menderita.
Namun impian itu kandaskan kembali oleh kaki-kaki pesepak bola Jerman yang diperkuat Andreas Kopke, Mattias Sammer, Thomas Helmer, di bawah pelatih dingin berwajah pucat, Berti Vogts.
Lagi-lagi mengulang drama di Turin 1990, Inggris kembali takluk melalui Adu Penalti setelah bermain 1-1 selama 120 menit. Dari sepuluh eksekutor penalti dari kedua tim, hanya tembakan eksekutor Gareth Southgate yang gagal bersarang. Inggris kalah 4-5. Selesai sudah semuanya.
Namun tidak buat Southgate, dia larut dalam kesedihan mendalam. Ia menangis digandeng kapten Tony Adams untuk memberi salam perpisahan pada fans Wembley yang tak berhenti menyanyi sebelum tembakan Soutgate ditahan Kopke. Southgate merasa dia telah meruntuhkan seluruh impian negaranya.
Setelah kekalahan adu penalti di London tersebut, Inggris seperti ditakdirkan untuk selalu menderita kekalahan dari adu tembakan dari jarak 11 m. Adu penalti mengakhiri perjalanan Three Lions berturut di Piala dunia 1998, Piala Eropa 2004, Piala Dunia 2006, dan Piala Eropa 2012.
Namun bagi saya, kekalahan paling menyakitkan Inggris pada Piala Eropa 1996, dan tentu saja Southgate sebagai algojo gagal Inggris yang paling tragis dibandingkan beberapa eksekutor Inggris yang tak berhasil melaksanakan tugas. Sekadar menyebut nama Stuart Pearce dan Chris Waddle (1990); Paul Ince dan David Batty (1998); David Beckham dan Darius Vassel (2004); Frank Lampard, Steven Gerrard, dan Jamie Caragher (2006); Ashley Young dan Ashley Cole (2012)
Entah bagaimana bisa, Southgate sudah menjadi ikon kegagalan adu penalti Inggris. Sebagaimana jika publik sepak bola mengingat pemain Italia Roberto Baggio yang tendangan penaltinya melambung tinggi di final Piala dunia 1994 melawan Brasil.
Sejak malam buruk Inggris itu, saya bersimpati pada Gareth Southgate, yang bermain untuk klub Aston Villa, klub favorit Pangeran Williams.
***
Pada saat FA mengumumkan Gareth Southgate menjadi Manager Inggris menggantikan Sam Allardyce, saya membatin Southgate punya kesempatan menebus kegagalan besar pada tahun 1996. Namun sejujurnya lebih besar keraguan saya, Southgate rasanya belum pantas menduduki kursi pelatih timnas senior Inggris, salah satu pekerjaan terberat di dunia.
Saya telah membayangkan Southgate akan dibully, dicaci maki lagi ketika gagal mengangkat tim Inggris berprestasi. Sebagaimana deretan pelatih Inggris sebelumnya. Sebagaimana dia dulu disebut 'pecundang' hanya karena gagal dalam satu tendangan penalti.
Namun saya senang kekhawatiran saya tidak terbukti di Rusia, turnamen akbar pertama Southgate. Inggris yang dilatihnya memberikan nuansa baru yang benar-benar tampil gemilang. Perlahan namun pasti, dia mulai membangun timnas Inggris yang hancur lebur dari warisan timnas Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016.
Dia suskes meninggalkan beban masa lalu Inggris, persis bagaimana dia bangkit dari keterpurukan 22 tahun silam. Tim asuhan Southgate tampil seperti kawanan singa lapar yang kompak luar dalam dan saling bekerja sama. Inggris diantarkan melangkah ke semifinal Piala Dunia, pertama kali sejak 28 tahun lalu di Italia.
Ada yang menarik ketika Inggris melawan Kolombia di perdelapan final harus ditentukan melalui adu penalti. Kegagalan kembali menghantui Southgate dan seluruh suporter Inggris. Saat penendang kelima Kolombia gagal dan Eric Dier berjalan untuk menjadi penendang terakhir, pelatih 47 tahun tersebut terlihat menatap ke langit.
Dan ketika tembakan Dier memastikan kemenangan pertama Inggris dalam adu penalti, Southgate barangkali menjadi orang paling berbahagia di dunia saat itu. Namun seperti yang ditulis di Kompas, dia merayakan dengan kewajaran dan tetap bersimpati kepada Carlos Bacca, eksekutor Kolombia yang gagal.
Malam ini Southgate, yang selama di Rusia bernampilan klimis dengan rompi biru muda, akan membawa pasukan mudanya menjalani pertandingan semifinal Piala Dunia Rusia 2018, laga terbesar dan terpenting Inggris sejak tahun 1990, melawan Kroasia, negara yang belum ada 28 tahun lalu.
Publik Inggris semakin yakin ini waktu terbaik untuk mengulang kejayaan Inggris sebagai negara sepak bola modern. Â Football is coming home ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H