Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Gareth Southgate Menyembuhkan Luka Lama

11 Juli 2018   23:34 Diperbarui: 8 September 2019   13:43 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi-lagi mengulang drama di Turin 1990, Inggris kembali takluk melalui Adu Penalti setelah bermain 1-1 selama 120 menit. Dari sepuluh eksekutor penalti dari kedua tim, hanya tembakan eksekutor Gareth Southgate yang gagal bersarang. Inggris kalah 4-5. Selesai sudah semuanya.

Namun tidak buat Southgate, dia larut dalam kesedihan mendalam. Ia menangis digandeng kapten Tony Adams untuk memberi salam perpisahan pada fans Wembley yang tak berhenti menyanyi sebelum tembakan Soutgate ditahan Kopke. Southgate merasa dia telah meruntuhkan seluruh impian negaranya.

Setelah kekalahan adu penalti di London tersebut, Inggris seperti ditakdirkan untuk selalu menderita kekalahan dari adu tembakan dari jarak 11 m. Adu penalti mengakhiri perjalanan Three Lions berturut di Piala dunia 1998, Piala Eropa 2004, Piala Dunia 2006, dan Piala Eropa 2012.

Namun bagi saya, kekalahan paling menyakitkan Inggris pada Piala Eropa 1996, dan tentu saja Southgate sebagai algojo gagal Inggris yang paling tragis dibandingkan beberapa eksekutor Inggris yang tak berhasil melaksanakan tugas. Sekadar menyebut nama Stuart Pearce dan Chris Waddle (1990); Paul Ince dan David Batty (1998); David Beckham dan Darius Vassel (2004); Frank Lampard, Steven Gerrard, dan Jamie Caragher (2006); Ashley Young dan Ashley Cole (2012)

Entah bagaimana bisa, Southgate sudah menjadi ikon kegagalan adu penalti Inggris. Sebagaimana jika publik sepak bola mengingat pemain Italia Roberto Baggio yang tendangan penaltinya melambung tinggi di final Piala dunia 1994 melawan Brasil.

Sejak malam buruk Inggris itu, saya bersimpati pada Gareth Southgate, yang bermain untuk klub Aston Villa, klub favorit Pangeran Williams.

***

Pada saat FA mengumumkan Gareth Southgate menjadi Manager Inggris menggantikan Sam Allardyce, saya membatin Southgate punya kesempatan menebus kegagalan besar pada tahun 1996. Namun sejujurnya lebih besar keraguan saya, Southgate rasanya belum pantas menduduki kursi pelatih timnas senior Inggris, salah satu pekerjaan terberat di dunia.

Saya telah membayangkan Southgate akan dibully, dicaci maki lagi ketika gagal mengangkat tim Inggris berprestasi. Sebagaimana deretan pelatih Inggris sebelumnya. Sebagaimana dia dulu disebut 'pecundang' hanya karena gagal dalam satu tendangan penalti.

Namun saya senang kekhawatiran saya tidak terbukti di Rusia, turnamen akbar pertama Southgate. Inggris yang dilatihnya memberikan nuansa baru yang benar-benar tampil gemilang. Perlahan namun pasti, dia mulai membangun timnas Inggris yang hancur lebur dari warisan timnas Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016.

Dia suskes meninggalkan beban masa lalu Inggris, persis bagaimana dia bangkit dari keterpurukan 22 tahun silam. Tim asuhan Southgate tampil seperti kawanan singa lapar yang kompak luar dalam dan saling bekerja sama. Inggris diantarkan melangkah ke semifinal Piala Dunia, pertama kali sejak 28 tahun lalu di Italia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun