http://nasional.kompas.com/read/2014/03/14/2340129"]Selain Presiden Joko Widodo, tak berlebihan rasanya jika 10 orang paling berkuasa di Republik Indonesia adalah mereka yang menjabat sebagai ketua umum partai politik saat ini.
Coba kita cek, berdasarkan hasil pemilihan umum tahun 2014. Ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarno Putri, belum tahu sampai kapan melepas jabatan yang telah diemban sejak berdirinya partai Banteng. Aburizal Bakrie ngotot maju mempertahankan ketua umum, meskipun suara partai Golkar terus menurun, dan parahnya lagi untuk kali pertama tak berhasil mengajukan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dalam kontestasi pilpres tahun lalu.
Kemudian Prabowo Subianto, ikon dan simbol partai Gerindra. Prabowo yang menjadi rival keras Jokowi di pilpres tahun lalu, seperti turun kelas karena bersedia menjabat ketua umum parpol berlambang burung garuda ini. SBY pun sama saja, turun level dengan mengambil alih kekuasaan ketua umum sebelumnya, Anas Urbaningrum, dan berniat terus mempertahankannya di Munas partai Demokrat, pada Mei nanti. Meski telah menjabat Presiden RI dua periode, Ketua Umum Demokrat sepertinya tetap jabatan yang maha penting. Banyak yang bilang SBY masih dilanda post power syndrome.
Itu tadi profil ketua umum parpol papan atas. Siapa penguasa parpol papan tengah? Muhamin Iskandar lebih memilih tetap menjadi ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), daripada sekadar menjabat menteri di kabinet kerja Presiden Joko Widodo. Hatta Rajasa pun bermaksud melanggengkan jabatan ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), meski akhirnya kalah tipis dari yuniornya, Zulkifli Hasan, yang juga menjabat Ketua MPR.
Presiden-sebutan untuk ketua umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anis Matta, sebelumnya lama menjabat Sekjen, dan segera mengajukan pengunduran diri sebagai wakil ketua di DPR periode lalu, setelah didapuk menggantikan Luthfi Hasan Ishaq, karena korupsi kuota daging impor.
Yang paling bersinar adalah Surya Paloh, ketua umum parpol anyar, Nasdem. Paloh adalah politisi ulung, cerdik membentuk organisasi masyarakat Nasional Demokrat, tak lama setelah dikalahkan Aburizal di Munas Golkar Riau 2009. Kini semua orang tahu, Nasdem (Paloh) memang dari awal bertujuan menjadi parpol yang mencari kekuasaan.
Kemudian nomor selanjutnya adalah ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), parpol orde baru ini dilanda kisruh ‘tak berujung’ dengan dualisme kepemimpinan. Kubu Surya Darma Ali terus ditekan kelompok Romihurmuzy. Dan ketua umum parpol terkecil di fraksi DPR adalah Wiranto, dari partai Hanura.
Berkuasa Penuh dan Berlimpah Materi
Menyimak kesepuluh sosok di atas, sepertinya ada yang salah dalam sistem partai politik di Indonesia. Hampir semuanya adalah tokoh yang seharusnya bersikap negarawan dan semestinya tidak lagi berada di kepengurusan. Terlebih lagi proses terpilihnya sebagai pemimpin tertinggi partai tak mencerminkan pembangunan demokrasi yang sehat.
Lihat saja faktanya. Sepengetahuan saya, kecuali PAN, semua ketua umum ditetapkan secara aklamasi, dengan alasan mencegah potensi terjadinya perpecahan internal. Aklamasi meski pun sah, cenderung tak lagi sesuai dengan semangat demokrasi. Lebih ideal membuka kesempatan berkompetisi antar kader untuk memilih ketua umum.
Ini sungguh mengkhawatirkan karena regenerasi parpol tak berjalan, alih-alih memperkuat kaderisasi dengan menyiapkan dan mendidik kader mudanya agar siap tampil. Para ketua umum justru lebih mementingkan melanggengkan kekuasaan.