Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Atas Segalanya, Kita Mencintai Indonesia

23 Juli 2014   16:08 Diperbarui: 21 September 2019   14:16 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_316470[/caption]

Maka terjadilah yang harus terjadi.

Selasa malam, kemarin (22/7) Husni Kamil Malik dengan resmi menetapkan pasangan Joko Widodo- Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode bakti 2014-2019. Pasangan nomor urut 2 ini dipilih hampir 71 juta masyarakat Indonesia yang tersebar di 33 Provinsi.

Perhitungan manual KPU selama 14 hari, dengan sendirinya mengkonfirmasi secara tegas akurasi hasil hitung cepat delapan lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Sekaligus mematahkan manipulasi data empat lembaga survei berbeda yang menyatakan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa-lah sebagai pemenang, pada hari pelaksanaan, 9 Juli lalu.

****

Setelah pemilu legislatif pada 9 April silam, praktis panggung politik Indonesia hanya untuk dua nama : Jokowi dan Prabowo. Bak dua kuda pacu terdepan yang tidak terkejar pesaing. Mereka juga bagai punya magnet untuk menarik politisi dari partai-partai politik bergabung ke gerbong mereka masing-masing demi mewujudkan satu misi : Menjadi Presiden dan memimpin pemerintahan presidensial kolektif lima tahun kedepan.

Pada waktunya, Jokowi menggandeng tokoh senior politisi-pengusaha, Jusuf Kalla. Duet muda-pengalaman ini diusung partai pemenang pemilu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai Banteng mengajak Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Keadilan Persatuan Pembangunan (PKPI). Gabungan ini mereka menamakan dengan koalisi "Indonesia Hebat", dengan identitas baju kotak-kotak dan kemeja putih. Slogannya ‘salam dua jari tengah dan telunjuk".

Di jalur berseberangan, sang rival, Prabowo Subianto memilih si rambut perak, Hatta Rajasa. Duet partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN) ini juga disokong beberapa partai berpengalaman. Ada Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Bahkan masuk belakangan partai yang tengah berkuasa, Partai Demokrat. Inilah koalisi merah putih dengan slogan “Indonesia Bangkit”. Di kertas suara pasangan ini mengenakan kemeja putih berkantong empat dan berkopiah.

Pertama kali dalam sejarah reformasi Indonesia, Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Pada awalnya banyak yang suka dengan head to head semacam ini, lebih seru. Dipastikan tak ada putaran kedua yang akan menguras energi dan tentu saja menghemat APBN triliunan rupiah. Begitu asumsi banyak masyarakat.

Namun rupa-rupanya apa yang terjadi, masa-masa kampanye menuju tanggal pemungutan suara, pada 9 Juli, atau bahkan hingga penetapan kemarin, Indonesia dan seluruh rakyatnya dihinggapi kekhawatiran dan kecemasan atas rivalitas keras dua calon pemimpin ini. Indonesia seperti terbelah dua. Inilah pemilu paling heboh dan menyita perhatian, dalam artian negatif.

Banyak yang bilang pilpres kali ini adalah pemilu paling beringas dan mencekam. Segala cara dihalalkan untuk meraih tujuan masing-masing. Fitnah dan kebencian tersuguh setiap hari, di semua lini kehidupan dari berbagai media resmi maupun tak resmi. 

Kampanye kotor dilakukan secara vulgar dan kasar, saling ejek dan menghina antar pendukung beredar di media sosial Facebook, Twitter, Path, dan BBM. Ada diantara mereka tak sungkan membawa-bawa nama suku, agama, ras, dan antar golongan yang jelas-jelas melanggar konstitusi dan aturan pemilu. Apa yang terjadi selama tiga bulan terakhir menunjukkan buruknya mutu para politisi kita dan masih mentahnya pembangunan demokrasi di negara ini.

Namun sudahlah, pertarungan itu sudah menemui ujungnya. Pemilu dapat dilalui tanpa kerusuhan dan perpecahan yang dicemaskan. Mengutip opini Eep Saefulloh Fattah di Kompas(22/7) bahwa kita mesti membuktikan bukan bangsa yang suka rusuh, kita percaya bahwa kemarahan dan (kerusuhan) tak akan mengantarkan kita ke masa depan yang gemilang. Sebab di atas segalanya, kita mencintai Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun