Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membangun Demokrasi

12 September 2014   05:39 Diperbarui: 14 September 2019   00:27 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bila saja kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sangat tinggi dan dapat kita andalkan menuju kesejahteraan, kehidupan politik kita tak akan segaduh seperti sekarang ini.

Paska pemilihan Presiden-Wakil Presiden yang menguras fisik dan mental, lahir dan batin, kini bergulir lagi kompetisi panas di ranah legislatif. Hal penting yang digodok adalah Rancangan Undang-Undang RUU tentang Kepala Daerah. Satu klausul didalamnya yang menuai pro-kontra adalah usulan sebagian besar fraksi di Senayan yang bisa dibilang ‘Koalisi’ pengusung pasangan Prabowo-Hatta-- yang belum bisa menerima kekalahan pada pilpres silam, akan memaksakan pemilihan kepala daerah yakni Gubernur, Bupati/ Walikota dikembalikan pada DPRD.

Dalih perubahan sistem pemilihan yang mereka sampaikan janggal. Biaya penyelenggaran pemilihan langsung sangat besar, rawan memicu konflik horizontal, maraknya politik uang, dan lain sebagainya.

Masyarakat kita sudah tak bodoh-bodoh amat, lagi pula tak dibutuhkan kajian mendalam, bila kita membuka hati dan pikiran kita jernih dan rasional, dengan mudah mengetahui motif kelompok pembajak demokrasi tersebut memaksakan hasrat berkuasa dan mengejar materi.

Kepentingan anggota koalisi itu terang sekali, untuk menjaga kelangsungan hidup partai mereka masing-masing, sumber keuangan partai yang akan mengerakkan mesin operasional, setidaknya dalam lima tahun kedepan. Sumber keuangan yang dimaksudkan di sini bukanlah uang pemerintah yang resmi dialokasikan untuk partai politik, melainkan uang pemerintah yang didapat melalui perburuan rente.

Setelak keok di pemilihan presiden-wakil presiden, partai anggota koalisi tersebut akan sangat kesulitan karena tidak mendapatkan jabatan menteri atau posisi strategis di pusat, yang selama ini menghidupi mereka. Pun jika melihat rekam jejak, mereka pun terancam tidak mendudukkan kadernya pada jabatan eksekutif di daerah melalui pemilihan langsung.

Mereka pasti sudah pasti berhitung, karena itu membuat jalan pintas yang licik. Kepala daerah harus dipilih saja oleh anggota DPRD, dan mereka bakal menguasai gubernur dan bupati/walikota di hampir semua daerah. Dengan demikian sumber keuangan koalisi ini tetap terpelihara.

Jika sidang paripurna DPR dua pekan nanti terjadi voting, dipastikan mimpi buruk demokrasi kita menjadi kenyataan. Hak demokrasi kita sebagai rakyat dipasung dan dianggap tak berarti sama sekali Ini membuat demokrasi yang kita bangun sejak tahun 1998 berjalan mundur dan terjebak dalam lingkaran setan. Sistem politik kita menuju otoriterisme dan elitis. Mengembalikan sistem demokrasi menuju tirani mayoritas pada tataran elit. Memperkuat kembali oligarki yang sebenarnya mulai terkikis di era reformasi, orang yang kuat karena kekayaannya.

Sejarah praktik oligarki di Indonesia tidak tunduk pada sistem hukum, sehingga meski menjadi negara demokratis, Indonesia juga menjadi salah satu daftar negara paling korupsi. Pilkada langsung oleh rakyat merupakan kemajuan demokrasi yang merupakan amanah reformasi dan konstitusi. Telah menghasilkan kepala daerah berkualitas di sejumlah daerah seperti contoh sosok Jokowi, Tri Risma, Ridwan Kamil, Hery Zudianto, Nurdin Abdullah, dan lainnya. Mustahil pemimpin merakyat tersebut terpilih jika mekanismenya melalui anggota DPRD.

Harus kita junjung bahwa pertangung jawaban kepala daerah terhadap rakyat, bukan kepada anggota dewan. Dengan mayoritas rakyat menghendaki, maka legitimasi kepala daerah makin kuat, dan lebih otentik, daripada legitimasi dari perantara anggota DPR.

Apakah pemilu kada langsung sudah berjalan ideal ?

Tentu saja tidak. Beberapa kelemahan dan kekurangan adalah hal yang wajar untuk membangun demokrasi yang kuat. Ibaratnya kita melaksanakan ujian, ada yang lulus dengan meraih nilai bagus, ada yang lulus dengan nilai standar, dan ada yang tidak lulus karena nilainya jelek. Segala kekurangan dan kelemahan harus dievaluasi. Yang pasti, kita sudah memulainya, hampir satu dekade, dan berangsur membaik, rakyat juga sudah terbiasa dan kian matang bagaimana menyikapi pemilu kada.

Kalau RUU Pilkada tersebut disetujui, mari kita galang kekuatan melakukan Judicial Review ke MK.

Kedaulatan rakyat diatas segala-galanya.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun