[caption id="attachment_352742" align="aligncenter" width="300" caption="https:psm-makassar-logo-hd-logo/"]Dua hari menulis artikel mengenai kisah saya sebagai suporter klub PSM Makassar belum rampung juga. Tiba-tiba, koran Kompas, pagi ini, Selasa, 24 Februari 2015, di rubrik olahraga (hal. 30), ‘mendahului’ saya menuliskan cerita suporter fanatik PSM. Judul berita yang dipilih Mohammad Final Daeng, Jurnalis Kompas, sangat menghentak dan keluar mainstream ; '(Nama) Anakku, Jayalah PSM Reski Ilahi’.
****
Sebagai wujud cinta, bangga, dan penghormatan, kepada PSM Makassar, sudah lama saya ingin mengabadikan dengan menuliskan banyak kenangan selama menjadi suporter PSM. Meski harus saya akui, tak semilitan dan ‘segila’ beberapa suporter PSM lain.
Ukuran ‘gila dan militan’ suporter PSM relatif mudah ditakar. Yakni mereka yang rajin mendukung langsung PSM, meski bermain tandang. Paling istimewa ketika PSM bertanding di GBK (Senayan) di babak akhir kompetisi, maka kelompok suporter fanatik PSM mengarungi lautan selama dua hari menuju ibukota.
Sampai sekarang saya masih kerap 'iri' dengan barisan suporter semacam mereka. Menurut persepsi pribadi, hanya ada empat suporter klub sepak bola nasional paling fanatik, paling tradisional mengakar, dan paling ‘gila’. Yakni suporter klub PSMS Medan, Bobotoh Persib Bandung, BonekPersebaya, dan suporter PSM Makassar. Pokoknya cinta sampe mati.
Berawal 1992
Awal kecintaan saya terhadap PSM terjadi tahun 1992. Saat itu, PSM berhasil menjuarai Divisi Utama Perserikatan di Stadion Utama Senayan (sekarang GBK). Alimuddin Usman dkk, membungkam dua favorit juara, Persib Bandung di semifinal; dan PSMS Medan di pertandingan final.
Saya masih ingat lautan merah dan meriahnya kota Ujung Pandang (Makassar), kala menyambut skuat Juku Eja dan mengarak piala presiden ke penjuru-penjuru kota Anging Mammiri. Sejak itu, saya menasbihkan sebagai penggemar PSM. Yang tak pernah lupa, saking cinta pada PSM, saya rajin menyambangi stadion Mattoanging yang hanya berjarak sekitar 3 KM dari tempat tinggal, hanya untuk melihat dari pinggir lapangan pemain PSM berlatih di sore hari.
Menyaksikan latihan seperti 'penebusan' rasa kesal sama Ayah yang belum mengijinkan menonton langsung pertandingan resmi PSM yang selalu digelar malam hari. Takut rusuh, kata Ayah. Maklum saya masih anak SD berumur 10 tahun.
****
PSM menjalani musim 1992/1993 dengan misi mempertahankan gelar. ‘Mempertahankan gelar jauh lebuh sulit daripada merebutnya’. Begitu yang selalu saya baca dari pengamat bola lokal Ujung Pandang, Piet Hariadi Sanggelorang, di koran Pedoman Rakyat. Â