Mohon tunggu...
Crystal
Crystal Mohon Tunggu... Guru - casual writer

pendidik, mendidik dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Anxiety adalah Nyata

23 Agustus 2020   23:13 Diperbarui: 23 Agustus 2020   23:58 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini saya diberi amanah untuk mengemban sesuatu yang baru di pekerjaan. Sebenarnya wacana ini saya tahu sejak dari tahun ajaran lalu. Sayangnya, tahun ajaran lalu diwarnai dengan lock down dan keterkejutan secara masal di dunia pendidikan. Sekonyong-konyong pembelajaran dilakukan secara jarak jauh dan semua di jajaran pendidikan, paling tidak, harus belajar menggunakan LMS (learning management system). 

Sayangnya penggunaan LMS demi memastikan lancarnya pendidikan tidak disertai dengan pelajaran atau training untuk mengatur emosi dan mental yang nyatanya sama pentingnya dalam masa distance learning ini. Ditambah dengan tanggung jawab baru, saya tidak memiliki waktu yang cukup untuk masa transisi posisi, hand over dan belajar segala sesuatunya. Singkat cerita saya tidak bisa mempersiapkan diri saya dengan baik. Komunikasi pun terbatas dan sejujurnya tingkat literasi seseorang tampak saat WFH atau kordinasi jarak jauh. Hal ini membuat interaksi langsung tak bisa tergantikan.

Pertengahan Juli saya mulai mengemban amanat, menjadi PIC program baru di institusi di tempat saya bekerja dan mempersiapkan dokumen untuk keperluan visitasi dinas pendidikan. Saya pun mulai juggling dengan apa yang saya lakukan hingga pada suatu saat saya menyadari bahwa saya mengalami anxiety.

Sesuatu yang selama ini jauh dari pemahaman saya, meski saya banyak membaca tentang mental health jaman sekarang. Dulu saya berpikir bahwa anxiety itu adalah berlebihan. Di mata saya seharusnya penderitanya bisa mengatasinya sendiri dengan tidak perlu berpikir banyak dan melakukan kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran atau menenangkan mereka secara rutin. 

Tapi lihat apa yang terjadi? Saya mengalami anxiety. Awalnya saya tak paham mengapa saya sepertinya tak bisa mengontrol diri saya. Seolah-olah tubuh saya ingin bergerak cepat mengikuti ritme otak saya yang sangat cepat berpindah dari satu hal ke hal lain. Tapi nyatanya tangan hanya dua, kaki hanya dua, mata hanya dua dan jantung hanya satu. 

Lantas saya mulai mamahami bahwa saya mengalami anxiety. Jantung saya berdebar cepat di saat tertentu, terutama saat pikiran saya mulai memikirkan banyak hal di waktu yang sama atau berpindah dari satu fokus ke fokus lain dalam waktu sepersekian detik. Ini terjadi cukup sering; saat saya membuka mata, berkendara di jalan dan mengetik dokumen dan saat di kamar mandi. Selain itu, tangan saya pun sesekali tremor. 

Perlahan saya mencoba memahami diri saya dan penyebabnya. Setelah melalui kontemplasi, saya mendapati bahwa anxiety ini muncul sebagai bentuk shock tubuh saya karena sudah lama 'idle' selama lock down ketika awal pandemi ini menyerang Indonesia dan tiba-tiba otak saya harus dipaksakan untuk berpikir cepat dan banyak, memastikan sesuatu berjalan dengan sebaik mungkin. Tak jarang split focus terjadi di antaranya. Gampangnya, otak saya kaget. 

Sejak saat itu saya memahami bahwa anxiety is real. Apa yang saya lakukan untuk meredakan keadaan saya? Ketika jantung mulai semakin cepat, saya akan berhenti dari yang saya lakukan.

Dengan tidak melakukan apa-apa dan mengamati diri saya, itulah ketika saya sadar dan menemukan diri saya terbawa 'arus'. Maka saya memperpelan ritme saya dengan menarik nafas panjang berulang kali. Hal ini nyatanya sangat ampuh untuk disconnect sejenak dari apa yang ada di sekitar saya.

Selain itu, saya juga open up tentang keadaan saya ke teman-teman kerja yang dekat. Mereka mem-back up dengan cara yang paling sederhana, lebih sering melemparkan candaan di sela-sela obrolan.

Terlebih dari itu, kebaikan mereka juga memberi kekuatan tersendiri. Sering tetiba mereka memberi surprise of sweet things seperti susu coklat dengan catatan penguatan, donut yang dimakan bersama sambil bercengkerama dan waktu untuk mendengar. Slowly but sure, I recover.

Saya memahami bahwa tidak setiap orang beruntung untuk mendapatkan respon seperti ini ketika mereka open up tentang keadaan mereka. Tapi satu hal saya sarankan untuk readers yang mungkin sedang berjuang dengan mental health adalah open up.

Berbicaralah kepada orang yang anda percayai. Jika orang tersebut gagal untuk men-support anda, ceritakan kepada orang lain. Lakukan hal serupa hingga anda menemukan dukungan. Talk to anyone and expert. 

Dari pelajaran ini saya dicelikkan bahwa memahami dan mengusahakan mental health di masa pandemi ini sama pentingnya dengan mengusahakan berbagai teknologi untuk mendukung kegiatan kita. Sayangnya, tak banyak training praktis yang mengajarkan cara manajemen diri di tengah pandemi ini (atau mungkin saya yang kurang update).

Gaungnya masih jauh jika dibandingkan dengan webinar yang membahas segala bidang. Tak hanya itu, sudah saatnya kita menjadi orang yang bijak untuk memahami masalah mental adalah serius, terlebih menciptakan circle yang saling mendukung satu sama lain ketika ada teman atau kerabat yang open up tentang keadaan mental mereka.

Bukan untuk menjadi bahan gunjingan, gibah atau kepo, tapi semata-mata menjadi manusia yang humanis yang menyelamatkan sesamanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun