Pagi itu, seorang lelaki muda mengendarai motornya bersama anaknya, mungkin umur 5-6 tahun. Keduanya tidak mengenakan helm dan mereka mengendarai motor itu dengan kecepatan sedang di sebuah jalan antar kabupaten yang cukup ramai di pagi hari. Yang cukup membuat miris adalah, mereka seolah sedang bekerjasama mengendarai kendaraan itu, karena justru si anak kecil itulah yang menyetir, sementara sang bapak bergaya lepas tangan, dengan rokok di bibirnya. Tak ada ekspresi khawatir di wajahnya, bahkan seolah bangga memamerkan kebolehan dan keterampilan anaknya.
Saya yang sedang berkendara dengan perlahan sempat tersentak dan menggeleng-gelengkan kepala melihat pemandangan ini. Tidakkah bapak itu sadar bahwa apa yang dilakukannya sangat berbahaya? Mengapakah dia tidak memperhitungkan berbagai hal yang dapat terjadi dengan anak kecil yang belum cukup memiliki keseimbangan untuk berkendara itu? Sepadankah rasa bangga yang dimilikinya dibandingkan resiko yang mungkin diterimanya?
Saat ini, dengan mudah kita dapat menemui berbagai fenomena serupa di jalanan, walaupun mungkin tidak seekstrim yang saya sampaikan di atas. Jamak kita dapat menemui orang tua yang mengantarkan anaknya ke sekolah, dengan berjaket tebal, memakai helm standar, sementara si anak di belakang dibiarkan tanpa mengenakan perlengkapan pengaman apapun. Kita dapat menyimak foto-foto berikut yang saya dapatkan pagi hari ketika mengantar anak ke sekolah:
[caption id="attachment_383719" align="aligncenter" width="300" caption="Tanpa helm #1"][/caption]
[caption id="attachment_383720" align="aligncenter" width="300" caption="Tanpa helm #2"]
[caption id="attachment_383721" align="aligncenter" width="300" caption="Tanpa helm #3"]
Apa yang ada di pikiran para pengantar itu? Apakah mereka mengira anak-anak mereka lebih aman karena duduk di belakang? Bukankah seringkali justru para pembonceng itu yang lebih rawan karena tidak mengerti situasi di depan, sehingga terlambat berreaksi? Ataukah itu dilakukan karena polisi cenderung hanya melihat si pengemudi, dan memaafkan ketidaklengkapan pembonceng, sehingga merasa tidak perlu memakaikan perlengkapan itu pada anak-anaknya? Bukankah keselamatan itu kebutuhan pemakai kendaraan sendiri, bukan berdasar ada atau tidak ada petugas?
Hmmm, berbagai pertanyaan masih mengisi benak, ketika saya melepas helm standar yang khusus saya berikan pada anak sulung saya yang duduk di kelas 3 SD. Dia senang-senang saja memakainya, bahkan akan bertanya kalau saya sedang agak malas memakaikannya misalnya ketika jalan-jalan sore di seputar rumah: kok gak pake helm yah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H