Tak terasa sudah 5 bulan lebih sejak saya terdaftar pertama kali di Kompasiana pada tanggal 1 Desember 2014. Saat ini saya mengkoleksi 121 tulisan (versi laptop) dan 139 tulisan (versi HP). Perbedaan tersebut sepertinya muncul karena tulisan-tulisan yang terhapus (dengan laptop, karena dengan HP tidak bisa melakukan apapun, kecuali melihat) tetap dihitung, sehingga terakumulasi sedemikian banyak. Untuk fairnya, karena yang terbaca memang hanya 121, maka jumlah tulisan dengan laptop yang dijadikan patokan. Dari sekian banyak tulisan tersebut, saya mendapatkan 10 Head Line dan 5 Trending Articles, atau sekitar 12% dari total tulisan. Lumayanlah menurut saya yang sebenarnya amatiran dan bukan penulis beneran. Apalagi tulisan-tulisan tersebut saya hasilkan di sela-sela kesibukan kantor, juga mengasuh anak bersama istri karena ketiadaan pengasuh yang datang dan pergi. Seringkali apabila ide sedang muncul dan situasi tidak mendukung, penulisan saya lakukan dengan mencuri-curi waktu diantara menemani anak bermain, mengajar dan juga rapat penelitian. Ternyata hasilnya lumayan seru, dan seringkali malah justru tulisan yang dihasilkan dari konsentrasi yang terpecah semacam itu diberi ganjaran HL oleh Admin.
Sekian waktu menulis di Kompasiana tentunya mengalami pasang dan surut minat menulis, bahkan saya sempat menulis tulisan pada tanggal 6 Maret 2015, berjudul: Mengapa Malas Menulis (Lagi) di Kompasiana? Tulisan itu sebenarnya dipicu oleh perasaan tidak dihargai dan diperlakukan tidak adil oleh Admin, karena saya melihat bahwa terutama pada pemilihan HL indikatornya tidak jelas. Hal itu berbeda dengan TA yang menurut saya waktu itu didasarkan pada jumlah pembaca, yang ternyata tidak juga pasti demikian. Lebih-lebih lagi, saya menengarai adanya permasalahan teknis yang menyebabkan aliran tulisan tidak berjalan lancar, sesuatu yang mungkin masih juga terjadi hingga kini. Sebab yang lebih jujur lagi, sebenarnya karena tulisan-tulisan yang dimuat banyak yang bertentangan dengan pandangan politik saya. Saya memang merasa menjadi minoritas di komunitas ini yang sebagian besar adalah pendukung presiden sekarang, sementara saya bukan, bahkan mendapatkan TA pertama kali dalam tulisan yang mengkritik presiden dengan judul Pak Jokowi, Kenapa Semua Jadi Begitu Teknis? TA itu saya dapatkan pada tulisan yang ketiga, dan setelah itu saya merasa seperti didzolimi karena jarang mendapatkan lagi, dan hanya merasakan 1 HL dan 1 TA dalam waktu3 bulan, masing-masing untuk tulisan tentang Akik dan Lion Air. Selebihnya paling hanya lewat (highlight) atau bahkan lewatpun tidak :) O, ya, sebelum protes itu, saya juga sempat menuliskan tulisan yang mengungkapkan rasa suudzon saya pada Admin Kompasiana karena nama saya berganti dengan nama orang lain, yang ternyata hanya permasalahan teknis karena kemudian pulih kembali.
Di situlah saya merasa diperlakukan tidak adil, mungkin karena saya jumawa tulisan saya begitu bagus dan layak untuk di-TA dan HL-kan. Untunglah, ada beberapa Kompasioner yang meredakan kekecewaan saya dan memberi masukan, yaitu Oma Eni, Pak Bambang Setyawan, dan Mas Alan Budiman yang sebenarnya merupakan pemicu saya menulis tulisan tersebut melalui tulisannya: Malas Nulis Takut (Ga) HL/TA. Salah satu kata yang mak jleb dari Mas Alan Budiman adalah ini:
[caption id="attachment_383618" align="aligncenter" width="536" caption="Masukan Mas Alan Budiman yang inspiratif"][/caption]
Habis itu, entah saya tersugesti atau memang sudah reda emosi karena sudah terluapkan, akhirnya saya kembali menulis dengan lebih santai dan tanpa pretensi macam-macam, yang ternyata malahan diganjar HL dan TA dalam tiga hari masing-masing untuk tulisan mengenai Haji Lulung dan Membandingkan Pak Harto dan Jokowi, sebagaimana tampilan berikut:
[caption id="attachment_383682" align="alignnone" width="658" caption="HL dan TA Setelah Protes :)"]
Saat itulah saya akhirnya sadar, bahwa menulis untuk mengejar HL dan TA itu sia-sia saja, karena keputusan untuk menayangkan HL dan TA itu serupa misteri illahi yang hanya Admin yang mengetahui:) Sungguh, saya tidak pernah membayangkan kedua tulisan itu akan di HL maupun TAkan, karena tulisan Haji Lulung saya tulis di akhir pekan dengan buru-buru sambil sendirian mengasuh anak-anak karena mamanya ngantor. Kemudian tulisan tentang Soeharto saya tulis buru-buru karena harus mengurusi ibu yang rumahnya nun jauh di sana. Tanpa diduga, kedua tulisan itu ternyata diberi penghargaan yang begitu manis bagi saya.
Namun bukan berarti setelah itu saya kemudian banyak memetik HL dan TA, karena sekitar sebulan sesudahnya, saya hanya mengalami 1 HL pada 22 Maret dengan tulisan mengenai Refreshing di Lapangan Denggung Sleman. Setelah itu, saya kembali menerima HL pada 9 April dengan tulisan mengenai iklan aborsi di tempat umum: Anda Telat Bulan, Hubungi Kami! Setelah itu, HL dan TA mengenai tulisan-tulisan Armada Taksi Baru di Yogya (HL, 11 April), Kebocoran UN (HL, 23 April), X Factor Indonesia (TA, 27 April), Kulon Progo sebagai Daerah Bebas Reklame Rokok (HL, 29 April), Konflik Keraton Yogyakarta (HL, 6 Mei dan HL, 14 Mei), Roro Fitria (TA, 11 Mei), dan Netizen yang Pemarah (HL, 12 Mei).
Dari kesemua jejak tersebut saya mengambil beberapa kesimpulan, yang semoga berguna untuk saya bagikan dengan teman-teman Kompasioner lainnya. terutama yang masih baru agar tidak mudah patah semangat menulis, yaitu:
Pertama, motivasi menulis di Kompasiana janganlah motivasi untuk berkompetisi meraih penghargaan HL maupun TA, tetapi semangat untuk berbagi dan berteman. Hal ini cocok sekali dengan motto Kompasiana yang (katanya, karena saya tidak pernah membaca di logonya) Sharing and Connecting. Motivasi ini akan membebaskan kita dari sikap-sikap jumawa, berharap terlalu tinggi, lalu kemudian kecewa ketika tidak terpenuhi, seperti yang disampaikan mas Alan Budiman tadi.
Kedua, kalaupun TA dan HL didapatkan, anggaplah itu sebagai bonus penyemangat, tanpa merasa jumawa telah menjadi yang terbaik. Memang perlu dibuat strategi agar tulisan menjadi dilirik Admin dan pembaca, misalnya dengan judul tulisan yang menarik dan provokatif, waktu penayangan yang tepat (hindari mengirim terlalu malam atau terlalu pagi), juga pemilihan kanal tulisan yang tepat. Tidak diharamkan juga untuk merevisi tulisan apabila dirasa tidak cocok dan memiliki ide baru, dan kemudian kembali dikirimkan, dengan memperhatikan peraturan jeda waktu pengiriman tulisan selama 1 jam.
Ketiga, tulisan dalam Head Line saya amati lebih berupa tulisan-tulisan feature atau soft news, yang lebih bernuansa cerita pengalaman, sharing dan ide-ide mengenai berbagai hal yang tercakup dalam berbagai kanal di Kompasiana, termasuk juga fiksi. Untuk dapat masuk dalam HL, tulisan biasanya harus menyampaikan sesuatu yang baru dan khas yang dapat memperkaya wawasan pembaca. Tulisan-tulisan ini mungkin tidak akan menarik banyak pembaca, karena minat pembaca juga tersebar dalam berbagai kanal, namun menurut saya lebih bergengsi karena menunjukkan kemampuan kita menyampaikan informasi secara menarik.
Keempat, tulisan dalam Trending Articles biasanya lebih berupa tulisan hard news, terutama berita-berita yang kontroversial, misalnya berita politik, bola, skandal artis dan pejabat. Kalau anda penyuka topik-topik tersebut, tulislah dengan judul provokatif, jangan sungkan untuk sedikit menyerang, maka pasti akan banyak dibaca yang memicu tulisan anda TA. Di luar itu, tulisan-tulisan yang bergaya nyleneh, seperti tulisan saya mengenai X Factor dan Roro Fitria ternyata juga menarik pembaca untuk menengok.
Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan catatan selama 5 bulan ikut 'magang' di Kompasiana. Saya sangat senang dapat ikut berkontribusi dalam blog keroyokan ini, semoga kita dapat sama-sama berbagi dan belajar berbagai macam hal dalam nuansa persaudaraan. Bravo Kompasiana !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H