Sudah umum di Indonesia ruang publik diakuisisi oleh kepentingan-kepentingan yang bukan semestinya. Di kota-kota besar yang memiliki keterbatasan lahan untuk beraktifitas dengan mudah dapat kita temui trotoar misalnya sebagai ruang bagi para pejalan kaki digunakan untuk beragam aktifitas seperti parkir dan tempat usaha.
Parahnya, banyak orang seperti tidak menyadari bahwa haknya sedang dirampas, atau mungkin menyadari, tetapi tidak berdaya untuk menegur atau mengingatkan, karena massifnya pelanggaran yang dilakukan. Kita dapat mencermati dokumentasi foto berikut, yang penulis ambil di depan RS Sardjito Yogyakarta beberapa waktu yang lalu.
[caption id="attachment_370471" align="aligncenter" width="300" caption="Melipir selokan"][/caption]
[caption id="attachment_370472" align="aligncenter" width="300" caption="Harus turun ke jalan"]
[caption id="attachment_370473" align="aligncenter" width="300" caption="Dipenuhi pedagang"]
[caption id="attachment_370474" align="aligncenter" width="300" caption="Jerigen tanda kepemilikan ruang"]
Fenomena-fenomena tersebut memperlihatkan bahwa ruang publik telah dirampas oleh orang yang tidak berhak sehingga tidak mampu menjalankan fungsi yang seharusnya. Yang memprihatinkan adalah, para perampas hak publik tersebut berlaku seolah tidak sedang melakukan kesalahan, bahkan dapat 'mengusir' orang untuk memanfaatkan haknya, misalnya dengan memberi tanda 'kepemilikan' ruang bagi dirinya.
Ada beberapa sebab mengapa permasalahan tersebut dapat terjadi.
Pertama, tingginya daya tarik lokasi tersebut untuk ruang usaha, yang tidak diikuti oleh tersedianya ruang usaha yang cukup dan layak. Dalam kasus di atas, rumah sakit, apalagi rumah sakit umum pusat, adalah lokasi yang menjadi tujuan banyak orang setiap harinya. Mungkin beribu orang datang dan pergi, yang tentunya memerlukan pemenuhan kebutuhan pokok, seperti makanan. Oleh karena itu, tidak heran, banyak usaha yang tumbuh subur adalah usaha makanan.
Kedua, ketidaktegasan pihak yang berwenang dalam menertibkan pelanggaran. Penertiban atas pelanggaran yang terjadi memang seharusnya dilakukan secara terus menerut, karena sekali sebuah pelanggaran ditoleransi akan menjadi pemicu orang lain untuk mengikutinya. Dalam kasus di atas, seringkali sudah dilakukan penanganan, bahkan melibatkan aparat keamanan, namun upaya tersebut sepertinya tidak dapat dilakukan terus menerus, mungkin karena adanya keterbatasan seperti sumber daya maupun pendanaan.
Ketiga, adanya 'organisasi non formal' yang mengatur. Sudah lazim dalam usaha informal seperti parkir dan pedagang kaki lima ada orang-orang yang mengatur, menarik uang keamanan dan sekaligus melindungi dari operasi penertiban. Orang-orang seperti inilah yang seringkali menyulitkan pengaturan, apalagi dalam kondisi penyelenggaraan pemerintahan yang belum sepenuhnya bersih ini.
Keempat, sempitnya lapangan kerja. Para pedagang tersebut seringkali tidak memiliki pilihan lain selain menjadi profesi yang sekarang dijalani. Karena ketiadaan pilihan tersebut, seringkali respon yang dilakukan juga ekstrim, seperti yang jamak terjadi pada berbagai penertiban PKL di berbagai kota. Seringkali juga ketiadaan pilihan tersebut membuat para pedagang menyiasatiatau melakukan adaptasi terhadap pengaturan yang dilakukan. Dalam kasus RSUP Sardjito tersebut, pihak rumah sakit sudah mendirikan pagar di halaman luar yang kemudian diisi taman untuk mengurangi aktifitas pedagang. Namun respon pedagang malahan berjualan di luar pagar, yang akibatnya semakin mengganggu lalu lintas yang lewat di jalan tersebut.
Kelima, mental jalan pintas. Mental mau mudahnya sendiri ini dimiliki baik oleh pedagang maupun pembeli. Pihak pedagang ingin agar barang dagangannya laku, sehingga menjual di tempat yang sedekat mungkin dengan pembeli. Di sisi lain, pembeli juga akan memilih untuk membeli di tempat yang paling dekat dana mudah dijangkau. Di RSUP Sardjito sebenarnya, pihak rumah sakit sudah menyediakan lahan untuk berjualan di sisi utara rumah sakit, yang sebenarnya tidak terlalu jauh untuk dijangkau, mungkin sekitar 200 - 300 meter. Namun demikian, lokasi ini kian lama kian sepi karena kalah dengan para pedagang yang berjualan di depan RS yang lebih dekat bagi pembeli. Selain itu, kapasitas tampung yang dimiliki juga terbatas, sehingga tidak semua pedagang dapat tertampung di lokasi tersebut.
Demikianlah sedikit pemikiran yang didasari oleh rasa keprihatinan melihat semakin kacaunya pemanfaatan ruang publik yang terjadi. Apa yang disampaikan sebenarnya hanya contoh dari fenomena besar yang menghantui kota-kota besar di Indonesia. Penanganan yang diperlukan seharusnya mengacu pada sumber permasalahan yang menjadi penyebab fenomena tersebut terjadi. Dan hal tersebut memerlukan usaha berbagai pihak yang terkait, baik masyarakat sendiri, badan usaha yang terkait maupun pemerintah. Sudah selayaknya ruang publik dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemanfaatan publik, sehingga dapat mewujudkan kota yang ramah huni dan berkemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H