Ditulis oleh: Boy Michael Tjahyono – Risk Management Lead of Accenture Indonesia
Sejak memasuki tahun 2015, industri asuransi dalam negeri mengalami tantangan besar. Paling tidak ada tiga tantangan yang dihadapi hingga pertengahan tahun ini. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai akibat perlambatan ekonomi dunia akan menurunkan permintaan pasar asuransi dan pasar modal.
Tantangan kedua, tuntutan pemenuhan modal minimal Rp 100 miliar pada akhir tahun atau Risk Based Capital (RBC) 120% sebagai bantalan industri asuransi pada akhir tahun yang harus dicapai perusahaan asuransi.
Tantangan terakhir adalah tantangan kompetisi terbuka dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dengan penetrasi masih di bawah 5%, pasar asuransi Indonesia akan mengalami serbuan perusahaan-perusahaan asuransi global.
Mengacu pada analisis Swiss Re, secara umum integrasi ekonomi dan keuangan dapat mengarah ke penetrasi asuransi yang lebih tinggi di pasar-pasar yang belum berkembang seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Namun hal itu memerlukan waktu beberapa tahun.
Beberapa hal positif akan menjadi implikasi pada perusahaan asuransi, terutama bagi perusahaan asuransi yang sudah besar. Mereka akan memperoleh keuntungan dari akses yang lebih mudah ke negara lain di ASEAN dan dari aspek skala ekonominya.
Belum lama ini, salah satu salah satu global consulting firm, Accenture, telah merilis laporan hasil riset mereka dengan tajuk Accenture 2015 - Global Risk Management Study – Insurance Report. Dalam laporan hasil wawancara dengan ratusan top eksekutif (C-levels) perusahaan asuransi global, ditemukan beberapa hal menarik, yaitu:
- Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan asuransi global telah melakukan investasi yang tidak sedikit demi memenuhi tuntutan regulasi dan membangun pandangan yang utuh dan strategis mengenai risiko. Tantangannya sekarang adalah bagaimana memaksimalkan pengembalian atas investasi itu.
- Dengan tekanan marjin dan pengembalian dari lini bisnis tradisional, khususnya dimana pasar akan terus menyediakan pengembalian yang terbatas, perusahaan mencari cara lain untuk terus bertumbuh. Model bisnis baru akan bermunculan dan banyak pelaku asuransi saat ini merasa terancam dengan adanya gelombang digital era. Dari survei Accenture di 2014 mengenai Digital Innovation Survey menunjukkan 75% responden memprediksikan akan ada perubahan besar dalam rantai nilai asuransi dalam 5 tahun kedepan. 83% responden percaya teknologi digital akan mengubah cara mereka berinteraksi dengan pelanggan.
- Dalam pasar asuransi yang sudah matang, menunjukkan sasaran pertumbuhan yang yang kuat diartikan juga dengan mengambil risiko yang lebih besar, dimana daya ungkit (leverage) menaikkan laba dengan cara bisnis tradisional akan ditantangan untuk memenuhi imbal hasil yang diharapkan. Upaya mengambil risiko lebih ini akan mempersulit pengambilan keputusan bahkan pada konteks pertukaran antara risiko yang lebih kompleks terhadap hasil yang diharapkan. Dengan demikian, pelaku industri dengan sendirinya akan mencoba menerapkan aktivitas pengendalian yang lebih spesifik untuk membantu pertumbuhan bisnis yang lebih aman dan terkendali.
Dalam menjawab ketiga hal di atas, hasil riset ini merekomendasikan lima prioritas utama yang perlu dilakukan oleh pelaku industri sbb:
Prioritas 1: Peran manajemen risiko akan dituntut lebih lagi sehubungan dengan digital business akan makin meningkat. Yang jelas prioritas pertama ini menuntut peran manajemen risiko akan makin luas, makin bermitra dengan pelaku bisnis digital dan diharapkan dapat memberikan kontribusi/solusi/masukkan dari kacamata risk-reward dalam menyelesaikan berbagai isu mereka.  Â
Prioritas 2: Perlunya pelaku asuransi memperkuat kemampuan data dan analisis. Mengingat asuransi merupakan kegiatan yang mengandalkan data driven, transformasi ini akan menuntut jumlah data yang besar. Satu sisi hal ini akan meningkatkan risiko operasional, namun hal ini tak dapat dihindari. Oleh karena itu, pelaku industri perlu meningkatkan kapabilitas dalam menangani pertumbuhan data, memanfaatkan database itu untuk keperluan analisis lebih lanjut. Mayoritas dari pelaku industri yang disurvei mengakui bahwa mereka telah memanfaatkan data dan kemampuan analisis untuk mengelola risiko-risiko utama mereka.
Prioritas 3: Perlunya manajemen risiko operasional yang efektif dan adaptif dalam laju pertumbuhan bisnis di masa depan. Sebagaimana lingkungan bisnis menjadi lebih kompleks, lebih tidak pasti dan makin banyak regulasi, manajemen risiko operasional dapat memberikan pandangan dalam meningkatkan kinerja. Risiko operasional dapat menjadi perangkat efektif dalam mendefinisikan, mengembangkan dan melindungi kapabilitas baru untuk terus bertumbuh.  Dalam konteks global, perusahaan asuransi mengalami bertambahnya regulasi di hampir semua wilayah. Regulasi berbasis risiko sedang tumbuh di semua benua, namun mengalami  perbedaan cara pandang dan prioritas dari berbagai regulator. Sebagai contoh, salah satu perangkat risiko operasional, Own Risk and Solvency Assessment (ORSA), tidak akan diterjemahkan dalam ruang lingkup dan analisis yang sama baik di pasar Eropa, Amerika Serikat atau Asia. Banyak pelaku industri ini meningkatkan fokus mereka pada risiko operasional, khususnya di area dimana teknologi baru sedang terjadi, seperit misalnya digital, data yang besar dan jejaring sosial. 74% dari responden melihat cyber risk dan risiko IT akan menjadi lebih besar dalam dua tahun ke depan, 65% memandang fraud dan kejahatan finansial akan menjadi perhatian yang lebih besar. Â