Mohon tunggu...
CRISTOVORUS
CRISTOVORUS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

..

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Merayakan Ibadah Puasa di Tengah Situasi Pandemi

28 April 2021   13:47 Diperbarui: 28 April 2021   13:49 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemandangan Ramadan tahun ini, sungguh menggembirakan mata dan hati saya. UMKM beranda, atau penjual makanan di depan rumah tampak di sepanjang jalan. Remaja nongkrong di pertigaan sekalian ngeceng dan pacaran. Lampu warna-warni berkelip di setiap rumah. Salat Tarawih berjamaah kembali dilangsungkan. Suara orang yang sedang tadarus menggema di setiap malam. Orang lalu lalang setiap sore hari. Banyak anak kecil bermain kembang api dan berlarian bebas di halaman masjid. Namun, tahun lalu sungguh berbeda.

Hingar bingar bulan Ramadan tak terasa di tahun lalu. Pandemi kala itu masih baru dan masih sering dibercandain sama jajaran pemerintah dan neitizen. Sampai akhirnya kecamatan saya masuk zona merah Covid-19. Ada dua kelurahan berwarna merah di peta, kelurahan saya salah satunya.

 

Dari mulai tetangga dusun, tetangga RT, ada saja yang positif Covid-19. Bergantian, tak putus-putus dari satu desa ke desa yang lain. Kemudian, bulan Ramadan datang. Ingin rasanya saya geser Ramadan ke bulan Agustus. Seperti janji pemerintah soal Covid-19 usai di bulan Agustus. Meski kita akhirnya harus kecewa lagi.

Alhasil, kebanyakan dari kami harus diam di rumah, terutama orang-orang yang pernah bertemu dan berkumpul dengan warga yang positif Covid-19. Kami harus menunggu swab dan rapid test selesai dilakukan.

Namun, test swab ke warga tak segera dilakukan. Yang sudah positif saja ketika rapid harus menunggu sekitar dua minggu untuk swab. Kan, kasihan di dalam rumah terus. Yang positif rapid, lanjut ke tes swab. Selama menunggu tes, jalan masuk kampung diberi portal, tapi ada yang jaga. Tetap boleh beraktifitas, hanya saja belum boleh menerima orang luar. Sabun dan kran air ada di tiap rumah. Pokoknya mengikuti protokol kesehatan.

 

Hal yang menyebalkan, setiap daerah menjadi seperti kota mati. Selama sebulan lebih, bahkan sampai Lebaran datang, banyak daerah yang nyenyet. Tak ada petasan, tak ada orang jualan di depan rumah, tak ada kawan yang mudik. Nggak bisa kerja, nggak leluasa bergerak. Toko-toko tetap buka, tapi nggak ada yang beli.

Kerjaan para pemuda cuma nungguin portal di jalan masuk gang. Sambil genjrang-genjreng dan rebahan di pos ronda, hingga saling sambat. Rasa khawatir dan bokek akut menyerang. Lebaran sudah dekat, pikiran kalut, banyak pemuda dilanda putus cinta juga dan dirumahkan oleh tempat kerja. Remuk, Jum!

Di tengah kebuntuan itu, Bansos rupanya masih menjadi masalah yang menyebabkan perpecahan. Semua orang berebut untuk mendapat Bansos. Tetangga saling sindir menyindir, sampai ada yang tak saling bertegur sapa lagi. Bikin pusing semuanya. Semua sedang bingung, semua sedang butuh bantuan, tapi tak semua berempati. Protes ke kelurahan, sampai ada yang mau pergi ke kecamatan, protes ke Pak Camat.

Perpecahan Bansos kala itu, serupa perpecahan saat pilihan lurah. Tak ada saudara, tak ada teman, beda pilihan berarti musuh. Kacau. Puasa makin terasa sulit, penginnya misuh terus melihat kelakuan orang-orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun