Terorisme merupakan salah satu isu yang rentan terjadi di negara kawasan Asia Tenggara. Tidak hanya ancaman bagi sebuah negara, terorisme juga menjadi ancaman bagi ASEAN. Hal tersebut bukanlah sebuah ketakutan khayalan karena terdapat banyak kasus terorisme yang dipengaruhi oleh radikalisasi islam dan kelompok separatisme di kawasan Asia Tenggara.Â
Dalam menghadapi dan melawan terorisme, ASEAN berupaya membuat kebijakan yang kontra terorisme, salah satunya adalah ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) yang menjadi payung hukum untuk penanganan terorisme di kawasan Asia Tenggara. ACCT ditandatangani di Cebu, Filipina pada tahun 2007 melalui KTT ASEAN ke-12.Â
Filipina merupakan salah satu negara ASEAN yang seringkali menghadapi konflik terorisme, salah satu kasus tersebut adalah terorisme oleh Kelompok Maute. Kelompok Maute atau Maute Group merupakan salah satu kelompok Islam radikal yang terafiliasi dengan kelompok ISIS dan berisikan Foreign Terrorist Fighters (FTF) yang menguasai kota Marawi di Filipina Selatan.Â
Kelompok Maute melakukan penculikan, pemenggalan, bahkan pengeboman untuk mengacaukan situasi di Filipina Selatan. Kelompok Maute juga terkenal karena cenderung menolak bernegosiasi dengan pemerintah Filipina.Â
Maute Group sendiri menarik perhatian pemerintah Filipina dan masyarakat setelah membombardir kota Butig, provinsi Lanao del Sur, Davao dan melakukan serangkaian penembakan terhadap konvoi rombongan Presiden Duterte Rodrigo yang berencana meninjau lokasi pertempuran di Lanao del Sur, dari kejadian tersebut diketahui tujuh anggota pasukan pengamanan Duterte terluka.Â
Kelompok Maute kembali menjadi sorotan setelah terjadinya konflik Marawi yang terjadi selama selama lima bulan di tahun 2017. Pada awalnya, pemerintah Filipina akan melakukan penangkapan terhadap pemimpin kelompok Abu Sayyaf yaitu Isnilon Hapilon yang diketahui sedang ada di Marawi untuk menemui kelompok Maute.Â
Namun, usaha penangkapan tersebut ternyata gagal dan mengakibatkan konflik berkepanjangan. Ini dikarenakan Isnilon ternyata dilindungi oleh para anggota Abu Sayyaf dan anggota dari Maute. Akhir dari konflik ini adalah dengan terbunuhnya Isnilon dan juga pemimpin Maute, Omar Maute.
Kelompok Maute diketahui  muncul sebagai sebuah kelompok kecil dalam pemberontakan kelompok militan Muslim di Mindanao. Berkembangnya kelompok-kelompok radikal Islam yang menyebutkan nama mereka sebagai Negara Islam atau ISIS di Suriah dan Irak turut membuat kelompok Maute juga tidak mau kalah. Kelompok Maute dinilai berhasil menjadikan wilayah Filipina Selatan menjadi markas ISIS dan mengundang para militan Islam yang ada di Filipina Selatan untuk bergabung bersama kelompok mereka.
ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) memiliki tujuan untuk memperkuat kerjasama antarnegara anggota dalam penanggulangan terorisme di kawasan Asia Tenggara. ACCT juga menciptakan kerangka kerja yang komprehensif dalam menangani ancaman terorisme.Â
Dalam ACCT negara-negara anggota ASEAN menyepakati beberapa hal, diantaranya adalah pertukaran informasi dan intelijen untuk mencegah serangan teror, meningkatkan pengawasan pada perbatasan untuk mencegah pergerakan teroris, memberikan sosialisasi kepada masyarakat dalam penanggulangan terorisme.
Pemerintah Filipina sendiri telah melakukan beberapa upaya untuk dapat menghentikan pergerakan dari aktivitas terorisme yang ada di negaranya bahkan Filipina juga merupakan negara yang ikut menandatangani ACCT dan meratifikasinya. Hasil dari ratifikasi tersebut adalah dengan ditetapkannya Human Security Act sebagai landasan hukum untuk menangani terorisme di Filipina.Â
Dalam konteks kelompok Maute dan konflik di Marawi, Pemerintah Filipina sendiri melalui Presiden Duterte Rodrigo mengerahkan angkatan bersenjata dan mengumumkan keadaan darurat militer di Marawi yang memungkinkan penegakan hukum yang lebih ketat dan mobilisasi sumber daya militer. Akan tetapi, serangan oleh Maute di Marawi menunjukkan bahwa Filipina dan ASEAN tidak memiliki kesiapan yang optimal dalam memerangi terorisme.Â
Angkatan bersenjata Filipina terpaksa berperang di tengah daerah padat penduduk di Marawi. Lalu, tindakan pragmatis dan sepihak yang diambil oleh Filipina hanya bergantung untuk kepentingan nasional negaranya dan mengabaikan mekanisme kerja sama dan keterlibatan antar anggotanya yang sesuai dengan ketentuan pada ACCT.Â
Tindakan tersebut terlihat dari adanya keraguan oleh pemerintah Filipina untuk berbagi informasi intelijen mengenai situasi dan kondisi di Marawi saat konflik terjadi termasuk informasi mengenai adanya Foreign Terrorist Fighters (FTF) dari negara-negara ASEAN. Selama terjadinya konflik di Marawi, pemerintah Filipina hanya menjalin kerja sama praktis secara bilateral dan trilateral dengan Malaysia dan Indonesia.Â
Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa konflik yang terjadi di Marawi hanya mempengaruhi stabilitas keamanan ketiga negara tersebut.Â
Meskipun dinilai sebagai kerangka kerangka kerja sama regional, ACCT tetap memiliki kelemahan dalam pengimplementasiannya terutama karena ASEAN memiliki prinsip non-intervensi bagi negara-negara anggotanya yang menjadi kendala bagi masyarakat ASEAN untuk membantu Filipina mengatasi terorisme. ACCT juga tidak langsung diratifikasi secara bersamaan oleh setiap negara anggota ASEAN.Â
Bahkan, Filipina yang memiliki tingkat kasus terorisme di Asia Tenggara bukanlah negara yang pertama kali meratifikasi konvensi ini. Dengan dibutuhkannya waktu yang cukup lama bagi seluruh negara untuk meratifikasi ACCT membuktikan bahwa tiap anggota ASEAN belum memiliki kesamaan prinsip dan tujuan tiap negara ASEAN dalam menghadapi terorisme. Â
Negara anggota ASEAN juga menganggap bentuk kerja sama pada ACCT juga hanya bersifat insidental. Meskipun telah ditandatangani pada 17 tahun lalu, para anggota ASEAN masih belum berupaya untuk mengevaluasi dan mencari cara untuk memecahkan masalah pada kelemahan dan kekurangan dari ACCT.
REFERENSI
ASEAN. (2021). ASEAN Convention on Counter Terrorism. Diakses dari https://asean.org/wp-content/uploads/2021/01/ACCT.pdf
Zulailatul Maulidati. (2016). Implementasi ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) oleh Filipina dalam Menangani Kelompok Abu Sayyaf Tahun 2015-2016 (Skripsi). Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1086&context=jts
Siallagan, A. (2017). The failure of ASEAN counter-terrorism cooperation in preventing the arrival of foreign terrorist fighters in the Marawi conflict. Journal of Terrorism Studies, 5(1), 2.
Prima Satya, P. A. N. I. P. (2017). Kelompok Maute: Waralaba baru ISIS di Filipina. Tirto.id. https://tirto.id/kelompok-maute-waralaba-baru-isis-di-filipina-b593
ASIA PEACEBUILDING INITIATIVES. (2018). The Marawi Siege: A Perspective from the MILF North Eastern Mindanao Front Command. Singapore Press Holdings. https://www.spf.org/apbi/news_en/p_180422.html
Satya, P. A. N. I. P. (2017). MAUTE Group dan Jaringan Keluarga dalam Kelompok Islam Radikal di Filipina Selatan. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 5(2), 123-145
Perang Marawi: Latar Belakang, Kronologi, dan Akhir Kompas.com - 15/02/2022
Lukman Hadi Subroto, Widya Lestari Ningsih. (2022). Perang Marawi: Latar Belakang, Kronologi, dan Akhir. https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/15/110000179/perang-marawi--latar-belakang-kronologi-dan-akhir?page=2.
BBC News, Indonesia. (2017, June 20). Cerita sepak terjang Maute bersaudara di Marawi, Filipina. BBC News, Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-40337123
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H