Tidak hanya itu saja. Supaya unggul dalam iman, satuan pendidikan telah membuat program nyata. Jadi ceritanya begini. Ada program misa sebulan sekali, pada Sabtu pertama dalam bulan. Ada juga doa angelus terpusat dan terpimpin setiap hari. Kok bisa? Ya. Karena kita sudah pasang corong di setiap rombel. Ada juga doa Rosario, di setiap kelas selama bulan Mei dan Oktober. Ada juga Baca Kitab Suci di setiap kelas selama bulan September. Semunya itu bagian dari mengimplementasikan Visi-Misi satuan pendidikan.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.55 Wita. Saya tahu apa yang akan saya buat setelah ini. Saya beranjak pergi meninggalkan kamar meski melewati lorong sunyi menuju ruang ret-ret, meski dengan pikiran bising. Semua yang ada di kepala, masih berputar soal sekolah.
2. Yang tidak kalah penting adalah rasa memiliki. Mulailah dengan rasa memiliki. Benar. Jangan menjadikan Don Bosco sebagai 'lahan' untuk mencari keuntungan, apa lagi sebagai tempat persinggahan. Tak perlu bertanya diantara sesama pendidik, lu siapa? dari mana? Ini rumah (sekolah) kita. Mari kita bekerja sama dan bersama-sama kerja menuju sebuah perubahan yang lebih baik.
"Wajah rumah kita" ini harus ditata. Dan untuk menata rumah intelektual ini, maka kita mulai dengan rasa memiliki. Jangan dilihatnya sebagai tempat persinggahan sementara. Jika tidak, maka apa yang dikatan Gusti Rikarno dalam bukunya, "Hanya Pikiran yang tidak pernahbTua", menjadi benar. " Kamu tidak akan betah ada di sini. Rumah ini bakal terasing (mengasingkanmu).
Senja perlahan pamit pergi. Dia datang hanya untuk menyiapkan malam. Saya masih berkutak dengan pikiranku. Tentang sekolah, tentang taman di samping aula yang sudah kutinggalkan hampir seminggu. Aku rindu menatapnya. Benar. Hanya rindu terpenjara di sudut hati.
Saya tidak pernah menyangka. Saya akan menjadi kepala sekolah. Saya hanya berjuang menjadi imam dan bukan menjadi kepala sekolah. Tetapi, di dalam hidup saya, saya percaya bahwa jalan hidup kita sudah digariskan oleh Yang Kuasa. Jika Tuhan sudah berkehendak, tak satupun yang bisa menahan, apa lagi membaatalkannya. Manusia bisa apa, jika Tuhan sudah berkehendak.
3. Menyukai apa yang dikerjakan. Jangan mengerjakan apa yang kamu saka, tetapi sukailah apa yang kamu kerjakan. Banyak di antara kita yang hanya mau kerja apa yang disenangi dan disukai, (termasuk saya). Bila ia diperintahkan untuk mengerjakan apa yang tidak ia sukai, misalnya menjadi pelayan, ia pasti bersungut-sungut. Tidak maksimal dalam bekerja.
Malam makin sunyi meski pikiran saya kian bising. Saya masih terganggu dengan buku yang saya baca selama beberapa hari terakhir ini, "Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua". Salah satu ulasan yang bernas adalah soal kekuatan pikiran.
"Merubah pikiran tidak semudah merubah perasaan. Rintik hujan dan angin sepoi-sepoi basah, mungkin bisa merubah perasaanmu. Tetapi tidak untuk pikiran". Hal pertama dari perubahan adalah rubalah pikiranmu.
Mulailah dengan berpikir positif tentang profesimu, tentang rekan seprofesi. Sadarilah arti kehadiranmu. Guru itu ibarat lentera di tengah kegelapan. Hadirlah sebagai sebagai 'ibu' (orang tua) yang bekerja dengan hati.
Seperti embun pagi. Seperti itulah saya mengartikan kehadiranku. Don Bosco sudah tertambat di hati. Saya jatuh cinta padanya. Bisa dilihat ketika dalam sebuah rapat dengan para guru saya mengatakannya dengan lantang, "Saya bekerja dengan hati".