"Belajarlah dari embun pagi. Sederhana. Menyejukkan namun tidak merusak dedaunan tempat di mana ia berpijak."
Angin malam berhembus kencang. Tidak seperti biasa. Dari balik tirai tampak kabut gelap menyelimuti langit, pertanda akan turun bening kristal. Senja yang terasi sepih dan saya masih bertahan dengan pikiran bising untuk merangkai kata.
Saya berusaha menghadirkan kembali memory silam. Semacam ret-ret, (kembali ke pengalaman), untuk mengabadikannya dalam tulisan.
Cerita ini dimulai sejak tanggal 26 Mei 2022. Benar. Sebuah momentum bersejarah, mungkin terlalu bombastis dikatakan, tetapi paling tidak untuk warga SMPK Don Bosco Atambua, ini bersejarah yang layak untuk dicatat.
Tepatnya tanggal 26 Mei 2022, saya dilantik menjadi kepala sekolah SMPK Don Bosco Atambua. Jujur saja, tidak semua guru tahu bahwa saya yang bakal dilantik menjadi pimpinan mereka.
Ini bukan soal saya layak dan yang lain tidak layak. Juga bukan soal seorang imam yang harus (saya) memimpin sekolah ini, tetapi soal keputusan hasil sidang pihak yayasan As'tanara dan pembina yayasan.
Saya sendiri tidak mengharapkan. Bahkan hari-hari terakhir sebelum pelantikan, saat mendengar berita ini, saya sempat berdiskusi dengan pihak yayasan, kalau boleh orang lain saja yang ditetapkan untuk dilantik menjadi kepala sekolah.
Ceritanya berawal dari sini. Pada awal Mei 2022, saat saya dalam di STP Santo Petrus Kefamenanu, untuk mengikuti kuliah S1 pendidikan, saya ditelpon oleh Rm. Stefanus Boisala, Pr, (Ketua Pembina Yayasan). Seperti biasa, pembicaraan kami diawali dengan basa-basi yang tidak perlu. Saya kaget, ketika dalam percakapan itu muncul kalimat,
"... ternyata tidak sia-sia kuliah pendidikan.." Saya tanya maksudnya?
 "Menjadi Kepala Sekolah Don Bosco harus begitu.." Katanya lagi.
Dari kata-katanya saya sudah bisa menebak arahnya kemana. Saya mencoba mengimbangi pembicaraan dengan tanggapan dingin.
Memang, Smpk Don Bosco sedang mencari seorang pemimpin, pengganti Bapak Pius Seran, yang waktu itu pada bulan Mei, memasuki usia pensiun. Seorang mentor banyak makan garam dalam dunia pendidikan. Betapa tidak, lima belas tahun meniti karier sebagai kepala sekolah, akhirnya harus berhenti melangka karena faktor usia.