Mohon tunggu...
Chris D.a
Chris D.a Mohon Tunggu... -

Just an ordinary man. Hard-worker, husband, father

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Utopia buat Nyonya

22 Februari 2014   02:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Nyonya,

Aku mengenalmu sejak kau masih sangat muda. Kau gadis kecil ceria berambut panjang. Ada kalanya kepangmu dua. Ada kalanya kuncirmu begitu tinggi melekat di puncak kepala. Pipimu bulat merona. Seperti merahnya hamparan apel Anna di kebun nenekku. Parasmu semanis apel manalagi yang sangat kusuka.

Entah sejak kapan kerinduanku muncul pada sosokmu yang terkadang terdiam seolah menyimpan misteri hati. Satu yang kutahu, aku mulai tergila-gila padamu. Berharap kau berpaling sekejap padaku. Membiaskan senyummu. Atau ada kalanya hanya sekedar lirikan judesmu padaku.

Kau merindukan ribuan bintang untuk kau peluk dan kau hafal namanya. Dan kita bersama menikmati kelap-kelipnya di bawah kelam langit malam. Hanya hening dan tanpa kata. Tapi kau begitu dekat hingga aku bisa mendengar desah nafasmu. Terpancang pada kekaguman pada jutaan benda langit di atas sana.

"Aku ingin masuk astronomi" katamu suatu ketika.

Aku percaya kau mampu. Dengan kecerdasanmu yang membuatku kadang terkesima. Dan aku menatapmu dengan sungguh. Lalu aku mengucapkan ini "Kutunggu kau di Bandung."

Kemudian kau menatapku dengan pendar mata yang seumur hidup tak akan kulupa. Membenamkanku pada lautan utopia tentang kita. Dan sejuta letupan dan lompatan degub dan rasa tentang kita.

Nyonya,

Ingatkah kau pada pelukanku saat harapanmu kandas? Saat itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk memberi masa depan yang terbaik untukmu. Aku menatanya dengan terbang menggapai bekal mimpi walau harus berada sangat jauh darimu.

Kau berdiri dengan tegakmu dalam balutan kesetiaan. Sayangnya aku tidak. Ketika sepi mendera aku berpaling. Sejenak melupakanmu dalam penantian yang tak henti. Kuterima marahmu. Ya aku bersalah.

Gelisahmu sadarkan aku bahwa kau terlalu berharga untukku. Aku tak ingin melepasmu walau gamang menyergapku karena jalinan rumit masa lalu. Tapi aku terjebak ragu. Bisakah aku membahagiakanmu? Aku hanya bisa terhenyak ketika kau mengatakan dengan begitu sedih "Kau makin asing bagiku."

Ternyata jarak dan waktu tak pernah bermurah hati pada kita. Membiarkan kita jauh dan lama terpisah dalam ketidakpastian yang kuciptakan sendiri. Membuat kita saling kehilangan dan asing satu sama lain. Aku tahu kau sudah lelah menantiku kembali. Saat harapan itu bersemi aku harus terbang lagi.

Aku hanya bisa kelu ketika terpaksa melepasmu pergi dari kehidupanku. Walau hatiku sungguh tak ingin tapi aku tetap harus merelakanmu. Ya aku tahu kau tak lagi merasa nyaman berjalan di sampingku.

Kuintip dan kurenungi hari-harimu yang sempat sepi setelah kita saling melambaikan tangan. Dan ketika kau menemukannya aku hanya bisa menatap hampa dari jauh. Utopiaku hancur berantakan sudah karena kegamanganku sendiri, bukan salahmu.

Aku tidak tahu harus bersorak kegirangan ataukah menangis sedih saat tahu dia begitu mencintaimu. Kau pun memujanya jauh melebihi yang pernah kau lakukan untukku. Tahukah kau seperti apa rasanya? Seperti dijatuhkan dari tempat tinggi tanpa jaring pengaman. Hatiku pecah dan hidupku retak.

Nyonya,

Seharusnya aku bahagia melihatmu bahagia. Tapi kenapa aku seperti kehilangan arah dan separuh hidupku? Pun saat aku menemukan dia yang seharusnya jadi tambatan jiwaku. Kenapa rasanya tak pernah sama?

Aku berusaha melupakanmu dan menghapus tiap lembaran bersamamu dalam hidupku. Makin aku berusaha, makin kuat ingatanku padamu melekat dan berurat akar dalam benakku. Kupikir aku sudah menyiksa diriku sendiri. Makin tersiksa ketika aku tahu bahwa sedikitpun kau tak lagi pernah memikirkanku. Kau asyik menjalani hidupmu dengan dia-mu.

Dia-ku mengatakan aku bodoh. Ya kuakui itu. Dan aku serasa menemukan surgaku kembali tatkala aku menemukan lembar tentangmu. Bagaikan oase di tengah dahagaku yang menggila. Walau aku hanya bisa menatapmu dari jauh aku tak apa-apa. Biarkan aku memperoleh hidupku kembali hanya dengan melihatmu tanpa menjangkaumu.

Betapa klise kalimat yang beredar itu, bahwa cinta tak harus memiliki. Tapi kini aku tahu bahwa rasa itu benar ada dan akan selalu ada bersama seluruh sisa nafas yang kupunya. Aku tak mampu menghapusnya. Dia-ku tak apa-apa karena sangat tahu aku tetap miliknya dan bukan milikmu apapun yang terjadi. Kau milik dia-mu dan tak akan pernah jadi milikku. Kita tak akan pernah bisa bersatu dan saling memiliki.

Nyonya,

Cintaku padamu tak akan pernah kubiarkan pergi walaupun cintamu padaku sudah lama padam. Biarkan kumiliki rindu ini untuk menggantikan utopiaku yang berantakan.

__________

(JP.21.02.2014.Belajar membuat fiksi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun