Dalam artikel Kompasiana sebelumnya, telah dibahas mengenai seperti apa konsep jurnalisme multimedia beserta contohnya.
Di tahun 2014, McAdams pernah menulis artikel berjudul (Re)defining Multimedia Journalism. Ia menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada kesepakatan umum di antara jurnalis mengenai definisi dari multimedia dan apakah masih diperlukan pada jurnalisme saat ini.
Istilah multimedia bagi jurnalis menjadi ambigu. Sebab, kemampuan multimedia dalam ranah pekerjaan bisa bermaksud jamak, mulai dari web developer hingga videographer.
Walau demikian, perkembangan jurnalisme multimedia membuat kemampuan multimedia dianggap sebagai salah satu kebutuhan yang mendesak. Hal tersebut dibuktikan melalui sebuah survei terhadap lebih dari 29 ribu jurnalis di seluruh dunia.
Kata pekerja tentang istilah "multimedia"
Eric Maierson, produser dari MediaStorm, sebuah studio memproduksi film dan desain interaktif, cenderung kurang menyukai istilah multimedia. Meski MediaStorm menyebut dirinya sebagai "multimedia production studio", namun bagi Maierson, multimedia di perusahaannya hanya menggambarkan fotografer yang membuat video dokumenter.
Mirip dengan Maeirson, editor Thunderdome -- sebuah divisi dari Digital First Media (New York) yang mengontrol distribusi, produksi, dan pelatihan untuk konten digital -- bernama Robyn Tomlin juga tidak menyukai gagasan multimedia. Tomlin lebih memilih kata video dan interaktif, yang merujuk pada pelaporan data, pengaplikasian database, dan aplikasi berita lainnya yang membantu pembaca dalam memahami informasi.
Â
Snow Fall oleh The New York Times
Pada tahun 2012, media ternama asal Amerika Serikat, The New York Times, membuat sebuah proyek besar mengombinasikan video, grafik animasi, peta, audio, dan slideshow foto dengan 17 ribu-kata tulisan yang dibagi ke dalam enam bagian.